Laman

Kamis, 24 Agustus 2017

Aku Pekerja Maka Aku Tak Lagi Membaca

http://drawingimage.com/art/24108
Saat anda telah memasuki dunia kerja, seberapa pentingkah aktivitas membaca dalam hidup anda? Perkara membaca ini agaknya perlu dirunut sejak masa kita mengenal aksara. Ketika kita mendapatkan kemampuan baru mengenali wujud bahasa yang berbeda. Saat itu membaca menjadi aktivitas yang menyenangkan sekaligus menantang. Rasa-rasanya apa pun ingin kita baca meski lisan terbata-bata mengeja. Mulai dari deretan artikel pada halaman koran, buku pelajaran membaca, nama-nama toko, stiker, hingga goresan iseng di tembok-tembok kota.
            
Namun, beberapa dari kita kehilangan rasa cinta membaca saat usia kian beranjak dewasa. Membaca menjadi aktivitas yang begitu biasa. Hal ini beriring dengan aktivitas belajar secara umum yang kian menekan dan membosankan. Tuntutan belajar dengan instrumen membaca tidak lagi menyenangkan. Godaan tampilan video lebih mengasyikkan dan berwarna lengkap dengan suara yang memainkan unsur rasa dan pesona. Jadilah membaca bukan lagi prioritas.

Selasa, 14 Maret 2017

Kemana Lapis Intelegensia Kaltim?

https://ucctalks.com/wp-content/uploads/2017/01/hope.jpg
Segera setelah menyimak kolom yang ditulis oleh Achmad Bintoro dalam harian ini pekan lalu (29/12/2016), sebuah pertanyaan mengemuka: Kemana lapis intelegensia Kalimantan Timur(Kaltim)? Pertanyaan tersebut muncul lantaran tulisan Bintoro tersebut memaparkan problem ekonomi yang hingga kini bahkan barangkali hingga tahun depan masih menghantui provinsi yang konon kaya ini. Bagaimana tidak, laporan pertumbuhan ekonomi regional yang dilansir BPS mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Kaltim tahun 2016 kembali minus. Di samping itu, dalam tulisannya yang berjudul “Dutch Desease” itu, secara tidak langsung Bintoro menggugat solusi atas masa depan Kaltim yang telah lama terlalu bergantung pada sektor hulu pertambangan. Nah, darimana datangnya solusi?

Sebetulnya ini persoalan klasik dengan jawaban yang juga klasik namun kerapkali pula secara klasik diabaikan. Kita semua sudah mafhum bahwa manusialah agen sekaligus sasaran pembangunan yang sesungguhnya. Jadi kala berbicara soal solusi mau tidak mau kita bicara soal manusia. Meski demikian dalam skema pembangunan manfaat proyek-proyek dengan ongkos yang tidak sedikit itu bagi pembentukan kualitas manusia lazim terpinggirkan. Kalaupun ada, maka hal itu cenderung menyangkut kesejahteraan dan kemakmuran. Baik tentu saja, namun kita tak boleh lupa bahwa manusia, entah ia individu ataupun masyarakat, jika dibesarkan dengan melulu bersandar pada kemakmuran akan lebih banyak menuntut ketimbang memberi. Maka sungguh tak mengherankan tatkala kini kita menagih solusi atas persoalan pembangunan, kreativitas yang boleh jadi dibayangkan Bintoro enggan mengemuka. Agaknya itulah yang kini dihadapi Kaltim.

Kamis, 18 Desember 2014

“Bukan Urusan Saya”: Refleksi Pudarnya visi Pemimpin-Guru

http://irresponsibility.files.wordpress.com/2011/03/pin.png
Pada dasarnya setiap bangsa di mana pun secara alamiah mendambakan sosok pemimpin yang berjiwa seorang pendidik, atau pemimpin-guru. Sebab setiap manusia secara instingtif merasakan bahwa kehadirannya di muka bumi bukanlah tanpa tujuan. Namun untuk mengenali tujuan itu manusia membutuhkan bimbingan dan arahan guna menggapainya dengan selamat, demikian pula halnya rakyat—yang berisi kumpulan manusia. Tuntutan atas adab dan moralitas sosok pemimpin dalam konteks ini menjadi absah mengingat pada dirinya melekat fungsi keteladanan yang merangkum seluruh nilai kebajikan hingga  dapat dijadikan rujukan praktik yang hidup dan membumi.
Dari sini bisa dimengerti jika beberapa saat yang lalu publik negeri ini geram ketika Presiden Joko Widodo dengan enteng mengatakan “Bukan urusan Saya” untuk kesekian kalinya saat dimintai keterangan ihwal implikasi keputusannya. Puncaknya adalah respon beliau atas peristiwa terbunuhnya seorang aktivis demonstrasi yang menentang pencabutan subsidi BBM. Kegeraman rakyat mengemuka sebab kalimat penafikan tanggung jawab tersebut bukan hanya mencederai rasa kemanusiaan, tapi juga merupakan bentuk penghianatan atas fungsi pengayoman dan moral kepemimpinan. Di samping itu kalimat negasi tersebut berpotensi merusak konstruksi akal sehat tentang alur dan lingkup tanggung jawab seorang pemimpin dalam suatu Negara. Sebab meskipun ia memiliki jajaran institusi yang mengurusi pelbagai bidang, toh pada dasarnya jajaran itu berada di bawah kendali dan otoritasnya hingga “cuci tangan” menjadi tindakan absurd. Lebih-lebih jika tindakan itu dikemas dalam retorika cacat pikir yang ditebarkan demi memenangkan penerimaan rakyat atas keputusannya.

Senin, 20 Oktober 2014

Siapa Anak Didik Kita ?

Sumber gambar: http://septianreynaldi.wordpress.com/
Siapa anak didik kita? Seorang guru mungkin akan menjawab, “Andi, Yuli, Bandi, Slamet, Fifi,” dan seterusnya. Tapi tidak. Itu bukan anak didik kita.  Guru lain menjawab, “ Oh, anak didik kita dari bermacam-macam latar belakang. Ada yang dari keluarga berada, ada yang dhuafa, ada yang orangtuanya pemuka agama, ada yang dibesarkan oleh seorang mantan narapidana dan preman.” Tapi tidak. Itu pun bukan anak didik kita. Guru ketiga boleh jadi akan melengkapi, “Anak didik kita adalah mereka yang berkebutuhan khusus. Kebanyakan mengidap autisme atau semacamnya”. Tapi tidak. Itu bukan anak didik kita.
Siapa anak didik kita, adalah pertanyaan yang sama rumitnya dengan siapa sesungguhnya diri kita. Kita tidak akan puas jika hanya sampai pada jawaban “saya Wawan, saya Desti, saya Ghani”, sebab itu hanya sebuah nama. Nama kita tidak lebih dari sekadar kesepakatan orang-orang terdekat untuk menyebut diri kita. Di dalamnya mungkin ada doa-doa dan harapan, tapi tentu saja nama bukanlah diri kita yang sesungguhnya. Kita juga tentu tidak akan cukup puas manakala status dalam keluarga menjadi penanda utuh atas diri kita. Sebutlah status sebagai anak, ayah, ibu atau pun kakek dan nenek. Atau atribut-atribut semacam kaum marginal, aparat hukum, buruh, pemilik modal, dan seterusnya. Kita lebih dari sekadar nama, status sosial, atau pun status dalam keluarga. Latar ekonomi pun tentu bukan diri kita. Maka demikian pula anak didik kita.

Sabtu, 21 Juni 2014

Korupsi dan Darurat Pendidikan

Sumber gambar: http://www.notbeinggoverned.com
“Korupsi adalah unsur tunggal terbesar yang bisa dijumpai di India. Semua jalan, dari rumah sakit bersalin sampai ke tempat perabuan, berbau korupsi. Tidak seorang pun bebas dari padanya, tidak ada ruang tanpa korupsi sebagai upacara.” Demikian kesaksian Chetana Kohli tentang korupsi di India pasca perang dunia kedua sebagaimana dikutip Syed Hussein Alatas(1983) dalam bukunya Corruption, its nature, causes and functions.
            Demikian merajalelanya korupsi di India pada periode tersebut, hingga konon seorang siswa sekolah kerap dimintai upeti oleh gurunya berupa berbagai macam barang demi sebuah nilai. Pemberian upeti tersebut menggeser tradisi lama anak-anak India yang terbiasa memberikan bunga sebagai tanda penghargaan bagi gurunya. Pada periode yang sama, dikisahkan seorang suami yang mendapati istrinya bunuh diri, diperas oleh seorang agen polisi setempat untuk membayar sejumlah uang kepada pembantu inspektur polisi sebagai jaminan tidak dipersoalkannya kelalaian sang suami melaporkan insiden tersebut. Fenomena ini merupakan pucuk gunung es dari maraknya pemerasan oleh oknum aparatur Negara.(Alatas,1983)

Jumat, 19 April 2013

Menimbang Agenda Milad UII


Sumber:  nafiul.wordpress.com

Dalam setiap peringatan Hari Ulang Tahun(HUT) di tengah-tengah bangsa yang masih didominasi kesadaran komunal seperti Indonesia, kita akan dengan mudah mendapati wujudnya yang seragam: dangkal dan kerap gegap gempita. Amat jarang kita jumpai suatu perhelatan milad yang diisi oleh keheningan dan dijiwai semangat reflektif mendalam. Peringatan hari kemerdekaan di kampung-kampung misalnya, masih didominasi perlombaan yang terus diwariskan turun-temurun tanpa ada perubahan tingkat pemaknaan berarti. Sementara pada masyarakat kelas menengah, ulang tahun seorang individu lebih banyak dirayakan dengan prosesi hura-hura entah dalam skala kecil maupun besar.
Fenomena banalitas dan homogenitas di atas tentu memiliki penjelasan. Prof.Bambang Sugiharto dalam sebuah kesempatan kuliah filsafat ilmu di Universitas Parahyangan menuturkan, pola berpikir masyarakat komunal seperti masyarakat Indonesia pada umumnya memang cenderung dangkal dan non-elaboratif. Akibatnya, wujud  ekspresi kebudayaannya akan merefleksikan pola kedangkalan serupa. Hal ini disebabkan tradisi lisan amat mendominasi pola komunikasi pada masyarakat semacam ini. Sementara tradisi lisan cenderung mengedepankan nalar-nalar pendek yang berkebalikan dengan tradisi tulisan yang membutuhkan nalar panjang atau elaboratif.