https://ucctalks.com/wp-content/uploads/2017/01/hope.jpg |
Segera setelah menyimak kolom yang
ditulis oleh Achmad Bintoro dalam harian ini pekan lalu (29/12/2016), sebuah
pertanyaan mengemuka: Kemana lapis intelegensia Kalimantan Timur(Kaltim)?
Pertanyaan tersebut muncul lantaran tulisan Bintoro tersebut memaparkan problem
ekonomi yang hingga kini bahkan barangkali hingga tahun depan masih menghantui
provinsi yang konon kaya ini. Bagaimana tidak, laporan pertumbuhan ekonomi
regional yang dilansir BPS mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Kaltim tahun
2016 kembali minus. Di samping itu, dalam tulisannya yang berjudul “Dutch Desease”
itu, secara tidak langsung Bintoro menggugat solusi atas masa depan Kaltim yang
telah lama terlalu bergantung pada sektor hulu pertambangan. Nah, darimana
datangnya solusi?
Sebetulnya ini persoalan klasik
dengan jawaban yang juga klasik namun kerapkali pula secara klasik diabaikan.
Kita semua sudah mafhum bahwa manusialah agen sekaligus sasaran pembangunan
yang sesungguhnya. Jadi kala berbicara soal solusi mau tidak mau kita bicara
soal manusia. Meski demikian dalam skema pembangunan manfaat proyek-proyek
dengan ongkos yang tidak sedikit itu bagi pembentukan kualitas manusia lazim
terpinggirkan. Kalaupun ada, maka hal itu cenderung menyangkut kesejahteraan
dan kemakmuran. Baik tentu saja, namun kita tak boleh lupa bahwa manusia, entah
ia individu ataupun masyarakat, jika dibesarkan dengan melulu bersandar pada
kemakmuran akan lebih banyak menuntut ketimbang memberi. Maka sungguh tak
mengherankan tatkala kini kita menagih solusi atas persoalan pembangunan,
kreativitas yang boleh jadi dibayangkan Bintoro enggan mengemuka. Agaknya
itulah yang kini dihadapi Kaltim.
Intelegensia, dimanakah kau
gerangan?
Tepat di situ pertanyaan pada judul
tulisan ini kian relevan. Kenapa intelegensia dan dimana mereka? Pertanyaan
pertama cukup mudah menjawabnya. Intelegensia adalah lapis masyarakat dengan
latarbelakang pendidikan relatif mapan. Namun substansinya bukan di situ. Intelegensia cenderung
memiliki pengetahuan komprehensif, lintas disiplin dan intensif serta berakar
pada komunitas budaya tertentu. Umumnya tiap komunitas masyarakat memiliki
lapis intelegensianya sendiri.
Terkait dengan problematika Kaltim sebagaimana
diulas di awal, sebetulnya kita bisa berharap lapis intelegensia Kaltim tampil
untuk memberikan solusi. Solusi sesederhana apa pun setidaknya dapat meniupkan
asa baru bagi masyarakat atau pengambil kebijakan daerah. Sebab konon yang
paling dibutuhkan oleh suatu masyarakat di saat krisis adalah harapan. Kaum
intelegensia dengan kapasitasnya, setidaknya dapat menunjukkan bahwa selalu ada
jalan keluar lengkap dengan pelbagai alternatifnya.
Sayangnya, lapis intelegensia Kaltim
kurang terdengar suaranya. Padahal, dengan berkaca pada kemakmuran masa silam, seharusnya
banyak anggota masyarakat yang mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang
tertinggi. Putra-putri Kaltim, sudah banyak yang mengenyam pendidikan di
universitas-universitas ternama baik di dalam maupun manca negara. Sebagian
dari mereka memang bercita-cita melanjutkan kiprah orangtuanya bekerja di
perusahaan pertambangan atau sektor-sektor industri utama Kaltim. Kelompok ini
memang akhirnya cenderung menjadi pekerja dengan bidang-bidang spesifik. Namun,
tidak sedikit pula di antara mereka yang memiliki pengetahuan komprehensif.
Sayangnya kelompok kedua ini urung mendapatkan ruang artikulasi di daerah
asalnya.
Ruang artikulasi gagasan itu penting
bagi pembentukan lapis intelegensia. Boleh dibilang di situlah eksistensi
mereka mengemuka. Dalam konteks daerah, sudah selayaknya tiap elemen baik
pemerintah maupun masyarakat mengupayakan adaya ruang-ruang semacam ini. Sebab
bukti-bukti mengenai keampuhan ruang-ruang artikulasi gagasan dalam menyemai
solusi atas kondisi masyarakat bertebaran. Jika harus menyebut salah satunya
mungkin apa yang diprakarsai keluarga Medicci di Italia abad pertengahan hingga
lahirlah Rainaissance bisa diajukan.
Apa wujudnya? Pertama, ruang media
massa. Media, atau dalam kasus ini media massa daerah, harus memberikan ruang
bagi dialektika. Lebih dari itu, media massa memiliki peran untuk menampilkan
sosok-sosok intelegensia daerah lengkap dengan gagasannya. Penokohan itu satu
hal, meski demikian fokus utama media daerah tetap pada substansi gagasan yang
ditawarkan. Hal ini untuk menghindari kaum intelegensia justru beralih menjadi
selebritas media. Di samping itu, media daerah dapat memerankan dirinya sebagai
fasilitator yang menjembatani dialog antar lapis intelegensia daerah dengan
pemerintah setempat.
Selanjutnya, wacana mengenai
pembetukan lembaga think tank di
level daerah agaknya perlu kembali dimunculkan. Lembaga semacam ini berfungsi
sebagai wadah bagi komunitas intelegensia guna mepertajam visi mengenai arah
keberlangsungan dan pertumbuhan daerah mereka. Intensitas dialog juga akan
semakin tinggi di antara mereka sehingga diharapkan dapat lahir gagasan-gagasan
andal. Di level nasional kita mengenal CSIS(Centre For Strategic and International Studies), ICMI(Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia), Habibie Centre, dll. Daerah juga membutuhkan
lembaga sejenis. Dalam hal ini Pemerintah maupun swasta dapat memfasilitasi
pembentukannya.
Meski
demikian, lembaga tersebut nantinya perlu terbebas dari intervensi kepentingan
politik. Kita tidak membutuhkan sekelompok intelektual yang memberikan
pembenaran atas sebuah kebijakan politik atau pragmatisme sikap elitenya. Karena
itu daerah memang memerlukan lebih dari satu lembaga think tank dengan karakter multi disiplin guna memberikan semacam
opini kedua, ketiga, dan seterusnya mengenai suatu persoalan dan biarkan publik
turut menilai dan mengawasi.
Ketiga, revitalisasi ruang pendidikan. Mengapa
Kaltim terlambat membangun sektor pertaniannya? Siapa yang mau
mengembangkannya? Siapa yang mau mendalami pengetahuan pertanian guna
mengembangkan sektor ini di Kaltim? Pertanyaan-pertanyaan tadi masih bisa
dikembangkan kepada sektor-sektor potensial lain yang selama ini terabaikan.
Generasi muda Kaltim barangkali kurang berminat menggarap sektor-sektor
potensial tersebut disebabkan kurangnya wawasan dan stimulus dari pemda, swasta
maupun lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Dalihnya, tidak sesuai dengan
kebutuhan pasar tenaga kerja daerah.
Tepat
di sinilah konsep link and match dalam
pendidikan memiliki kelemahan. Sebab gagasan tersebut cenderung berfokus pada
yang ada, bukan pada yang berpotensi untuk ada. Ia tidak membangun wawasan
komprehensif peserta didik. Maka jika konsep tersebut masih menjadi paradigma
pendidikan, kita sulit berharap lahirnya generasi daerah yang inovatif apalagi
visioner. Kehadiran lapis intelegensia juga akan lebih merupakan anomali
ketimbang akibat kontribusi sektor pendidikan.
Link
and match boleh jadi merupakan respon atas kekhawatiran persoalan ketenagakerjaan.
Namun konsep ini abai bahwa pasar tenaga kerja memiliki dinamika yang
dipengaruhi oleh 1001 faktor. Kaltim menjadi ritus nyata bagaimana orientasi
pada lapangan pekerjaan oleh sektor pendidikan toh tidak cukup responsif
menghadapi persoalan pengangguran manakala sektor industri andalannya mengalami
kemunduran. Akan lebih problematis lagi jika konsep ini kita tarik ke wilayah
yang lebih filosofis namun dalam konteks bahasan kali ini belum dibutuhkan.
Yang jelas ada PR berupa perbaikan mendasar di sektor ini jika Kaltim berharap
memiliki lapis intelegensia yang berkualitas.
Lapis intelegensia tidak lahir dalam ruang
hampa. Mereka dilahirkan dalam sebuah keluarga, tumbuh di tengah masyarakat,
dan mewarisi sekian banyak produk budaya. Mereka membutuhkan ruang hidup yang
kondusif. Ketiga rekomendasi di atas mendesak untuk minimal dipikirkan jika
Kaltim hendak melangkah menjadi daerah yang tidak hanya makmur namun juga
tangguh karena berakar pada sumur ide lapis intelegensianya yang tak pernah
kering. Bukan melulu bersandar pada sumber daya alamnya. Semoga[] Dimuat di Tribun Kaltim(13/1/2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar