Laman

Selasa, 14 Maret 2017

Kemana Lapis Intelegensia Kaltim?

https://ucctalks.com/wp-content/uploads/2017/01/hope.jpg
Segera setelah menyimak kolom yang ditulis oleh Achmad Bintoro dalam harian ini pekan lalu (29/12/2016), sebuah pertanyaan mengemuka: Kemana lapis intelegensia Kalimantan Timur(Kaltim)? Pertanyaan tersebut muncul lantaran tulisan Bintoro tersebut memaparkan problem ekonomi yang hingga kini bahkan barangkali hingga tahun depan masih menghantui provinsi yang konon kaya ini. Bagaimana tidak, laporan pertumbuhan ekonomi regional yang dilansir BPS mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Kaltim tahun 2016 kembali minus. Di samping itu, dalam tulisannya yang berjudul “Dutch Desease” itu, secara tidak langsung Bintoro menggugat solusi atas masa depan Kaltim yang telah lama terlalu bergantung pada sektor hulu pertambangan. Nah, darimana datangnya solusi?

Sebetulnya ini persoalan klasik dengan jawaban yang juga klasik namun kerapkali pula secara klasik diabaikan. Kita semua sudah mafhum bahwa manusialah agen sekaligus sasaran pembangunan yang sesungguhnya. Jadi kala berbicara soal solusi mau tidak mau kita bicara soal manusia. Meski demikian dalam skema pembangunan manfaat proyek-proyek dengan ongkos yang tidak sedikit itu bagi pembentukan kualitas manusia lazim terpinggirkan. Kalaupun ada, maka hal itu cenderung menyangkut kesejahteraan dan kemakmuran. Baik tentu saja, namun kita tak boleh lupa bahwa manusia, entah ia individu ataupun masyarakat, jika dibesarkan dengan melulu bersandar pada kemakmuran akan lebih banyak menuntut ketimbang memberi. Maka sungguh tak mengherankan tatkala kini kita menagih solusi atas persoalan pembangunan, kreativitas yang boleh jadi dibayangkan Bintoro enggan mengemuka. Agaknya itulah yang kini dihadapi Kaltim.


Intelegensia, dimanakah kau gerangan?

Tepat di situ pertanyaan pada judul tulisan ini kian relevan. Kenapa intelegensia dan dimana mereka? Pertanyaan pertama cukup mudah menjawabnya. Intelegensia adalah lapis masyarakat dengan latarbelakang pendidikan relatif mapan. Namun substansinya  bukan di situ. Intelegensia cenderung memiliki pengetahuan komprehensif, lintas disiplin dan intensif serta berakar pada komunitas budaya tertentu. Umumnya tiap komunitas masyarakat memiliki lapis intelegensianya sendiri.

Terkait dengan problematika Kaltim sebagaimana diulas di awal, sebetulnya kita bisa berharap lapis intelegensia Kaltim tampil untuk memberikan solusi. Solusi sesederhana apa pun setidaknya dapat meniupkan asa baru bagi masyarakat atau pengambil kebijakan daerah. Sebab konon yang paling dibutuhkan oleh suatu masyarakat di saat krisis adalah harapan. Kaum intelegensia dengan kapasitasnya, setidaknya dapat menunjukkan bahwa selalu ada jalan keluar lengkap dengan pelbagai alternatifnya.

Sayangnya, lapis intelegensia Kaltim kurang terdengar suaranya. Padahal, dengan berkaca pada kemakmuran masa silam, seharusnya banyak anggota masyarakat yang mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang tertinggi. Putra-putri Kaltim, sudah banyak yang mengenyam pendidikan di universitas-universitas ternama baik di dalam maupun manca negara. Sebagian dari mereka memang bercita-cita melanjutkan kiprah orangtuanya bekerja di perusahaan pertambangan atau sektor-sektor industri utama Kaltim. Kelompok ini memang akhirnya cenderung menjadi pekerja dengan bidang-bidang spesifik. Namun, tidak sedikit pula di antara mereka yang memiliki pengetahuan komprehensif. Sayangnya kelompok kedua ini urung mendapatkan ruang artikulasi di daerah asalnya.

Ruang artikulasi gagasan itu penting bagi pembentukan lapis intelegensia. Boleh dibilang di situlah eksistensi mereka mengemuka. Dalam konteks daerah, sudah selayaknya tiap elemen baik pemerintah maupun masyarakat mengupayakan adaya ruang-ruang semacam ini. Sebab bukti-bukti mengenai keampuhan ruang-ruang artikulasi gagasan dalam menyemai solusi atas kondisi masyarakat bertebaran. Jika harus menyebut salah satunya mungkin apa yang diprakarsai keluarga Medicci di Italia abad pertengahan hingga lahirlah Rainaissance bisa diajukan.

Apa wujudnya? Pertama, ruang media massa. Media, atau dalam kasus ini media massa daerah, harus memberikan ruang bagi dialektika. Lebih dari itu, media massa memiliki peran untuk menampilkan sosok-sosok intelegensia daerah lengkap dengan gagasannya. Penokohan itu satu hal, meski demikian fokus utama media daerah tetap pada substansi gagasan yang ditawarkan. Hal ini untuk menghindari kaum intelegensia justru beralih menjadi selebritas media. Di samping itu, media daerah dapat memerankan dirinya sebagai fasilitator yang menjembatani dialog antar lapis intelegensia daerah dengan pemerintah setempat.

Selanjutnya, wacana mengenai pembetukan lembaga think tank di level daerah agaknya perlu kembali dimunculkan. Lembaga semacam ini berfungsi sebagai wadah bagi komunitas intelegensia guna mepertajam visi mengenai arah keberlangsungan dan pertumbuhan daerah mereka. Intensitas dialog juga akan semakin tinggi di antara mereka sehingga diharapkan dapat lahir gagasan-gagasan andal. Di level nasional kita mengenal CSIS(Centre For Strategic and International Studies), ICMI(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Habibie Centre, dll. Daerah juga membutuhkan lembaga sejenis. Dalam hal ini Pemerintah maupun swasta dapat memfasilitasi pembentukannya.

Meski demikian, lembaga tersebut nantinya perlu terbebas dari intervensi kepentingan politik. Kita tidak membutuhkan sekelompok intelektual yang memberikan pembenaran atas sebuah kebijakan politik atau pragmatisme sikap elitenya. Karena itu daerah memang memerlukan lebih dari satu lembaga think tank dengan karakter multi disiplin guna memberikan semacam opini kedua, ketiga, dan seterusnya mengenai suatu persoalan dan biarkan publik turut menilai dan mengawasi.

Ketiga, revitalisasi ruang pendidikan. Mengapa Kaltim terlambat membangun sektor pertaniannya? Siapa yang mau mengembangkannya? Siapa yang mau mendalami pengetahuan pertanian guna mengembangkan sektor ini di Kaltim? Pertanyaan-pertanyaan tadi masih bisa dikembangkan kepada sektor-sektor potensial lain yang selama ini terabaikan. Generasi muda Kaltim barangkali kurang berminat menggarap sektor-sektor potensial tersebut disebabkan kurangnya wawasan dan stimulus dari pemda, swasta maupun lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Dalihnya, tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja daerah.

Tepat di sinilah konsep link and match dalam pendidikan memiliki kelemahan. Sebab gagasan tersebut cenderung berfokus pada yang ada, bukan pada yang berpotensi untuk ada. Ia tidak membangun wawasan komprehensif peserta didik. Maka jika konsep tersebut masih menjadi paradigma pendidikan, kita sulit berharap lahirnya generasi daerah yang inovatif apalagi visioner. Kehadiran lapis intelegensia juga akan lebih merupakan anomali ketimbang akibat kontribusi sektor pendidikan.

Link and match boleh jadi merupakan respon atas kekhawatiran persoalan ketenagakerjaan. Namun konsep ini abai bahwa pasar tenaga kerja memiliki dinamika yang dipengaruhi oleh 1001 faktor. Kaltim menjadi ritus nyata bagaimana orientasi pada lapangan pekerjaan oleh sektor pendidikan toh tidak cukup responsif menghadapi persoalan pengangguran manakala sektor industri andalannya mengalami kemunduran. Akan lebih problematis lagi jika konsep ini kita tarik ke wilayah yang lebih filosofis namun dalam konteks bahasan kali ini belum dibutuhkan. Yang jelas ada PR berupa perbaikan mendasar di sektor ini jika Kaltim berharap memiliki lapis intelegensia yang berkualitas.

Lapis intelegensia tidak lahir dalam ruang hampa. Mereka dilahirkan dalam sebuah keluarga, tumbuh di tengah masyarakat, dan mewarisi sekian banyak produk budaya. Mereka membutuhkan ruang hidup yang kondusif. Ketiga rekomendasi di atas mendesak untuk minimal dipikirkan jika Kaltim hendak melangkah menjadi daerah yang tidak hanya makmur namun juga tangguh karena berakar pada sumur ide lapis intelegensianya yang tak pernah kering. Bukan melulu bersandar pada sumber daya alamnya. Semoga[]  Dimuat di Tribun Kaltim(13/1/2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar