Laman

Kamis, 24 Agustus 2017

Aku Pekerja Maka Aku Tak Lagi Membaca

http://drawingimage.com/art/24108
Saat anda telah memasuki dunia kerja, seberapa pentingkah aktivitas membaca dalam hidup anda? Perkara membaca ini agaknya perlu dirunut sejak masa kita mengenal aksara. Ketika kita mendapatkan kemampuan baru mengenali wujud bahasa yang berbeda. Saat itu membaca menjadi aktivitas yang menyenangkan sekaligus menantang. Rasa-rasanya apa pun ingin kita baca meski lisan terbata-bata mengeja. Mulai dari deretan artikel pada halaman koran, buku pelajaran membaca, nama-nama toko, stiker, hingga goresan iseng di tembok-tembok kota.
            
Namun, beberapa dari kita kehilangan rasa cinta membaca saat usia kian beranjak dewasa. Membaca menjadi aktivitas yang begitu biasa. Hal ini beriring dengan aktivitas belajar secara umum yang kian menekan dan membosankan. Tuntutan belajar dengan instrumen membaca tidak lagi menyenangkan. Godaan tampilan video lebih mengasyikkan dan berwarna lengkap dengan suara yang memainkan unsur rasa dan pesona. Jadilah membaca bukan lagi prioritas.

            
Tapi tiada yang lebih memengaruhi lunturnya minat baca melebihi atmosfer keluarga. Umumnya orang tua yang tidak memiliki budaya baca, cenderung memiliki anak-anak yang rendah apresiasinya pada aksara. Sederas apa pun rangsangan membaca diberikan oleh guru di sekolah, panggung rumah tangga selalu jadi rujukan utama. Ayah yang penat sehabis bekerja sibuk mengutak-atik gawainya, atau sang ibu yang lebih asyik memilih drama opera sabun dengan remote di tangan ketimbang mendarasi kalimat demi kalimat pada lembar-lembar buku.
            
Lalu tibalah saat seseorang memasuki dunia kerja. Keadaan lantas jadi kambing hitam. Rutinitas mekanis kerap dituding sebagai penyebab tiadanya waktu membaca. Aktivitas harian terbilang terlampau melelahkan tubuh dan pikiran. Namun benarkah klaim tersebut? Apakah membaca hanya sekadar aktivitas sambil-lalu yang kelewat melelahkan hingga layak ditepikan dalam daftar agenda harian? Ataukah ia semacam kesibukan sia-sia yang menjemukan hingga tak dapat disanding-bandingkankan dengan bermain game di smartphone misalnya?
            Lagi-lagi ini soal persepsi yang tertanam namun kadung malas untuk dipertanyakan. Dalih kelelahan yang kerap diajukan para pekerja semestinya diuji dengan menjalankan aktivitas membaca itu sendiri. Sebab dalam ritme rutinitas, kelelahan sejatinya lebih didominasi aspek fisik bukan pikiran. Hal ini dapat dibuktikan dengan kecenderungan masih terbukanya pikiran untuk menyerap pelbagai informasi lewat pergunjingan atau gosip. Di dunia kerja, fenomena tersebut merupakan hal lazim dan dilakukan baik oleh pria maupun wanita. Apatah lagi jika ia ibu rumah tangga.

Tak pelak salah satu penyebab suburnya pergunjingan dalam interaksi sosial adalah ekses dari pikiran menganggur yang tak mendapat “makanan” tepat. Misalnya, ibu rumah tangga memang disibukan urusan pekerjaan rumah, namun seringkali yang letih hanyalah fisiknya. Sementara pikirannya belum tentu. Akibatnya, interaksi antar perempuan sering mengondisikan mereka untuk menjejali “makanan pikiran” berupa gunjingan remeh-temeh dan aib orang lain(Adlin,2011). Tentu saja hal ini patut disayangkan mengingat ada banyak sumber informasi bergizi yang bisa didapatkan melalui aktivitas membaca wa bil khusus membaca buku. Karenanya tidak heran apabila penyakit insan pekerja dan ibu rumah tangga hari ini adalah kejenuhan. Sedangkan kejenuhan semata-mata buah dari pikiran yang terlalu lapar akan informasi baru yang padat nutrisi.

Dalih lain yang kerap diajukan adalah keterbatasan biaya. Harga buku di negeri ini memang terbilang tinggi meski bukan berarti para penulisnya hidup serba berkecukupan. Namun setinggi-tingginya harga buku, toh bukan berarti tak terbeli andai orang-orang memiliki minat baca dan etos belajar yang tinggi. Buktinya, kelas menengah negeri ini lebih memilih membayar secangkir kopi seharga 50 ribuan ketimbang buku. Atau paket data ratusan ribu yang digunakan untuk sekadar bersosial media sembari menampilkan foto-foto narsisnya.

Jika bukan kambing hitam umumnya retorika subsitusi diajukan. Berselancar di dunia maya toh juga mengandalkan aksara. Buku berbahan kertas sudah digantikan dengan format digital. Koran diganti dengan epaper. Zaman sudah berubah. Memang, namun etos membaca sejatinya tak terikat medium dan berinteraksi dengan aksara bukan berarti seseorang telah membaca dengan benar. Ini persoalan yang sering disalahpahami.

Aktivitas membaca pertama-tama untuk mengetahui, lalu menelaah, kemudian berpikir dan melihat keutuhan di balik subyek yang dibaca . Format buku yang cenderung hening lebih menunjang tercapainya tujuan-tujuan tadi. Muaranya tidak lain demi meningkatkan kualitas hidup. Sebab informasi diterima dengan utuh dan saling kait mengait dengan bacaan serta pengalaman hidup sebelumnya. Jadi jika hari ini pemerintah dan banyak kalangan ramai-ramai meributkan bahaya hoax, jelaslah ada persoalan serius dalam etos membaca bangsa atau ia tertukar sebatas mengeja aksara. Sebab berita palsu nan banal hanya mungkin merebak bukan di masyarakat yang buta aksara, melainkan yang rendah etos membacanya.

Pun jika hari ini muncul keluhan betapa rendahnya mutu tenaga kerja di Indonesia. Kita bisa kembalikan keluhan tersebut dengan mengajukan pertanyaan, seberapa besar investasi perusahaan di negeri untuk menumbuhkan etos membaca karyawannya. Tapi ketimbang menanti perhatian perusahaan, bukankah akan lebih baik jika para pekerja mulai membangun kesadaran membacanya sendiri?

Barangkali manfaat membaca tidak perlu diulas dalam kesempatan kali ini. Toh, sudah banyak artikel bertebaran mengenai manfaat membaca. Mengetahui manfaat membaca nyatanya tak begitu ampuh menggugah orang-orang untuk membaca. Barangkali ini soal atribut identitas. Atau lebih parah lagi: soal pemaknaan hidup selaku manusia yang terbenam dalam rutinitas khas perusahaan. Untuk apa membaca jika bukan akademisi. Untuk apa membaca jika bukan wartawan. Untuk apa membaca, jika bukan lagi siswa sekolahan. Ada banyak alasan. Singkatnya, “Aku Pekerja Maka Aku Tak Lagi Membaca”[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar