http://drawingimage.com/art/24108 |
Saat
anda telah memasuki dunia kerja, seberapa pentingkah aktivitas membaca dalam
hidup anda? Perkara membaca ini agaknya perlu dirunut sejak masa kita mengenal
aksara. Ketika kita mendapatkan kemampuan baru mengenali wujud bahasa yang
berbeda. Saat itu membaca menjadi aktivitas yang menyenangkan sekaligus
menantang. Rasa-rasanya apa pun ingin kita baca meski lisan terbata-bata
mengeja. Mulai dari deretan artikel pada halaman koran, buku pelajaran membaca,
nama-nama toko, stiker, hingga goresan iseng di tembok-tembok kota.
Namun, beberapa dari kita kehilangan
rasa cinta membaca saat usia kian beranjak dewasa. Membaca menjadi aktivitas
yang begitu biasa. Hal ini beriring dengan aktivitas belajar secara umum yang
kian menekan dan membosankan. Tuntutan belajar dengan instrumen membaca tidak
lagi menyenangkan. Godaan tampilan video lebih mengasyikkan dan berwarna
lengkap dengan suara yang memainkan unsur rasa dan pesona. Jadilah membaca
bukan lagi prioritas.
Tapi tiada yang lebih memengaruhi
lunturnya minat baca melebihi atmosfer keluarga. Umumnya orang tua yang tidak
memiliki budaya baca, cenderung memiliki anak-anak yang rendah apresiasinya
pada aksara. Sederas apa pun rangsangan membaca diberikan oleh guru di sekolah,
panggung rumah tangga selalu jadi rujukan utama. Ayah yang penat sehabis
bekerja sibuk mengutak-atik gawainya, atau sang ibu yang lebih asyik memilih
drama opera sabun dengan remote di
tangan ketimbang mendarasi kalimat demi kalimat pada lembar-lembar buku.
Lalu tibalah saat seseorang memasuki
dunia kerja. Keadaan lantas jadi kambing hitam. Rutinitas mekanis kerap
dituding sebagai penyebab tiadanya waktu membaca. Aktivitas harian terbilang
terlampau melelahkan tubuh dan pikiran. Namun benarkah klaim tersebut? Apakah
membaca hanya sekadar aktivitas sambil-lalu yang kelewat melelahkan hingga
layak ditepikan dalam daftar agenda harian? Ataukah ia semacam kesibukan
sia-sia yang menjemukan hingga tak dapat disanding-bandingkankan dengan bermain
game di smartphone misalnya?
Lagi-lagi ini soal persepsi yang
tertanam namun kadung malas untuk dipertanyakan. Dalih kelelahan yang kerap
diajukan para pekerja semestinya diuji dengan menjalankan aktivitas membaca itu
sendiri. Sebab dalam ritme rutinitas, kelelahan sejatinya lebih didominasi
aspek fisik bukan pikiran. Hal ini dapat dibuktikan dengan kecenderungan masih
terbukanya pikiran untuk menyerap pelbagai informasi lewat pergunjingan atau
gosip. Di dunia kerja, fenomena tersebut merupakan hal lazim dan dilakukan baik
oleh pria maupun wanita. Apatah lagi jika ia ibu rumah tangga.
Tak pelak salah satu penyebab suburnya pergunjingan dalam
interaksi sosial adalah ekses dari pikiran menganggur yang tak mendapat
“makanan” tepat. Misalnya, ibu rumah tangga memang disibukan urusan pekerjaan
rumah, namun seringkali yang letih hanyalah fisiknya. Sementara pikirannya
belum tentu. Akibatnya, interaksi antar perempuan sering mengondisikan mereka
untuk menjejali “makanan pikiran” berupa gunjingan remeh-temeh dan aib orang lain(Adlin,2011).
Tentu saja hal ini patut disayangkan mengingat ada banyak sumber informasi
bergizi yang bisa didapatkan melalui aktivitas membaca wa bil khusus membaca
buku. Karenanya tidak heran apabila penyakit insan pekerja dan ibu rumah tangga
hari ini adalah kejenuhan. Sedangkan kejenuhan semata-mata buah dari pikiran
yang terlalu lapar akan informasi baru yang padat nutrisi.
Dalih lain yang kerap diajukan adalah keterbatasan biaya.
Harga buku di negeri ini memang terbilang tinggi meski bukan berarti para
penulisnya hidup serba berkecukupan. Namun setinggi-tingginya harga buku, toh
bukan berarti tak terbeli andai orang-orang memiliki minat baca dan etos
belajar yang tinggi. Buktinya, kelas menengah negeri ini lebih memilih membayar
secangkir kopi seharga 50 ribuan ketimbang buku. Atau paket data ratusan ribu
yang digunakan untuk sekadar bersosial media sembari menampilkan foto-foto
narsisnya.
Jika bukan kambing hitam umumnya retorika subsitusi diajukan.
Berselancar di dunia maya toh juga mengandalkan aksara. Buku berbahan kertas
sudah digantikan dengan format digital. Koran diganti dengan epaper. Zaman sudah berubah. Memang,
namun etos membaca sejatinya tak terikat medium dan berinteraksi dengan aksara
bukan berarti seseorang telah membaca dengan benar. Ini persoalan yang sering
disalahpahami.
Aktivitas membaca pertama-tama untuk mengetahui, lalu
menelaah, kemudian berpikir dan melihat keutuhan di balik subyek yang dibaca .
Format buku yang cenderung hening lebih menunjang tercapainya tujuan-tujuan
tadi. Muaranya tidak lain demi meningkatkan kualitas hidup. Sebab informasi
diterima dengan utuh dan saling kait mengait dengan bacaan serta pengalaman
hidup sebelumnya. Jadi jika hari ini pemerintah dan banyak kalangan ramai-ramai
meributkan bahaya hoax, jelaslah ada persoalan serius dalam etos membaca bangsa
atau ia tertukar sebatas mengeja aksara. Sebab berita palsu nan banal hanya
mungkin merebak bukan di masyarakat yang buta aksara, melainkan yang rendah
etos membacanya.
Pun jika hari ini muncul keluhan betapa rendahnya mutu tenaga
kerja di Indonesia. Kita bisa kembalikan keluhan tersebut dengan mengajukan
pertanyaan, seberapa besar investasi perusahaan di negeri untuk menumbuhkan
etos membaca karyawannya. Tapi ketimbang menanti perhatian perusahaan, bukankah
akan lebih baik jika para pekerja mulai membangun kesadaran membacanya sendiri?
Barangkali manfaat membaca tidak perlu diulas dalam
kesempatan kali ini. Toh, sudah banyak artikel bertebaran mengenai manfaat
membaca. Mengetahui manfaat membaca nyatanya tak begitu ampuh menggugah
orang-orang untuk membaca. Barangkali ini soal atribut identitas. Atau lebih
parah lagi: soal pemaknaan hidup selaku manusia yang terbenam dalam rutinitas
khas perusahaan. Untuk apa membaca jika bukan akademisi. Untuk apa membaca jika
bukan wartawan. Untuk apa membaca, jika bukan lagi siswa sekolahan. Ada banyak
alasan. Singkatnya, “Aku Pekerja Maka Aku Tak Lagi Membaca”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar