http://irresponsibility.files.wordpress.com/2011/03/pin.png
Pada
dasarnya setiap bangsa di mana pun secara alamiah mendambakan sosok pemimpin
yang berjiwa seorang pendidik, atau pemimpin-guru. Sebab setiap manusia secara
instingtif merasakan bahwa kehadirannya di muka bumi bukanlah tanpa tujuan.
Namun untuk mengenali tujuan itu manusia membutuhkan bimbingan dan arahan guna
menggapainya dengan selamat, demikian pula halnya rakyat—yang berisi kumpulan
manusia. Tuntutan atas adab dan moralitas sosok pemimpin dalam konteks ini
menjadi absah mengingat pada dirinya melekat fungsi keteladanan yang merangkum
seluruh nilai kebajikan hingga dapat
dijadikan rujukan praktik yang hidup dan membumi.
Dari
sini bisa dimengerti jika beberapa saat yang lalu publik negeri ini geram
ketika Presiden Joko Widodo dengan enteng mengatakan “Bukan urusan Saya” untuk
kesekian kalinya saat dimintai keterangan ihwal implikasi keputusannya.
Puncaknya adalah respon beliau atas peristiwa terbunuhnya seorang aktivis demonstrasi
yang menentang pencabutan subsidi BBM. Kegeraman rakyat mengemuka sebab kalimat
penafikan tanggung jawab tersebut bukan hanya mencederai rasa kemanusiaan, tapi
juga merupakan bentuk penghianatan atas fungsi pengayoman dan moral
kepemimpinan. Di samping itu kalimat negasi tersebut berpotensi merusak
konstruksi akal sehat tentang alur dan lingkup tanggung jawab seorang pemimpin
dalam suatu Negara. Sebab meskipun ia memiliki jajaran institusi yang mengurusi
pelbagai bidang, toh pada dasarnya jajaran itu berada di bawah kendali dan
otoritasnya hingga “cuci tangan” menjadi tindakan absurd. Lebih-lebih jika
tindakan itu dikemas dalam retorika cacat pikir yang ditebarkan demi
memenangkan penerimaan rakyat atas keputusannya.
Bahwa
tidak setiap keputusan populis selalu membawa kebaikan, kita tentu mafhum.
Namun tidak dapat dibenarkan jika dalam rangka memberikan pemahaman atas
keputusannya itu, seorang pemimpin mencederai akal sehat rakyat yang
dipimpinnya dengan serangkaian retorika manipulatif. Kritik atas morallitas
retorika kepemimpinan semacam ini sejatinya telah berusia ribuan tahun.
Tercatat bagaimana Nabi Ibrahim as, para pemuda ashabul kahfi, Nabi Musa as, hingga filsuf besar seperti Socrates
dan Platon telah mencoba memberikan koreksi bahwa bentuk komunikasi yang
sekadar berpretensi memenangkan kepatuhan dan penerimaan rakyat dapat merusak
konstruksi moralitas dan kebenaran jika bukan malah musuh kebenaran itu
sendiri.
Reorientasi Pendidikan dan Relevansi Jiwa Pemimpin-Guru
Pudarnya
visi pendidik dalam konsep kepemimpinan dan degradasi nilai pendidikan dalam
suatu Negara bisa dituding sebagai cikal bakal menculnya fenomena gaya
kepemimpinan semacam ini. Ada semacam pergeseran paradigma kepemimpinan menjadi
sekadar soal manajerial hingga memerlakukan Negara layaknya perusahaan dan
rakyat sebagai sumber daya. Rakyat akhirnya digiring kepada tujuan residual
melalu pelbagai sugesti yang kerap kali hanya mementingkan efektifitas,
efisiensi dan ujung-ujungnya bermuara pada keuntungan material segelintir orang,
alih-alih mewujudkan kebaikan bersama. Dalam hal ini tentu pembangunan
intelektual dan spiritual rakyat kerap diabaikan jika bukan hanya tampil dalam
selogan dan retorika saat kampanye.
Paradigma
kepemimpinan tersebut tentu tidak akan mampu mengakomodasi visi pendidikan
rakyat. Sebab pendidikan pertama-tama merupakan soal menanamkan adab pada jiwa
seseorang agar memiliki sikap yang luhur terhadap diri sendiri, orang lain,
ilmu pengetahuan, serta alam dan kehidupan.
Sebab materi dan informasi saja tidak pernah cukup untuk mengantarkan
seseorang menjadi pribadi yang baik. Materi dan informasi haruslah diapresiasi
melalui serangkaian sikap dan disiplin yang tepat agar menjadi ilmu dan
pengetahuan yang bermanfaat dalam menjalani kehidupan. Dari sana kebutuhan akan
sosok pembimbing dan pengasuh diperlukan agar seseorang mendapat panduan bersikap melalui serangkaian teladan maupun teguran
peringatan. Pembimbing dan pengasuh inilah yang lazim kita sebut sebagai guru.
Guru
adalah figur yang menghimpun pelbagai tanggung jawab besar. Padanya arah gerak
peradaban bangsa ditentukan. Akankah peradaban itu bergerak ke arah yang lebih
baik, atau mundur, remuk dan runtuh dalam arus pusaran zaman, para pendidik
khususnya guru-lah yang mengambil peran utama. Dalam konteks ini, sosok guru
dapat dibaca sebagai pemimpin peradaban yang sesungguhnya. Bukan ilmuwan,
politisi, atau pedagang. Dalam khazanah Yunani antik, peran pendidik sebagai
pemimpin sendiri tersirat dalam syair-syair kepahlawanan homerik demikian pula
dalam khazanah peradaban Islam klasik, selain berperan sebagai orangtua, mereka
juga mengemban tugas sebagai pemimpin yang harus mengoreksi kelemahan
spiritual, intelektual, sikap, dan tingkah laku individu-individu yang berada
dalam bimbingannya(Wan Daud, 2003)
Jiwa Pemimpin Sejati
Kepemimpinan
berjiwa guru oleh karenanya dibutuhkan dalam Negara yang mencita-citakan
terwujudnya masyarakat yang adil dan beradab. Sebab jiwa seorang pendidik
sejati secara otomatis menyadari tanggung jawab yang diembannya. Pengetahuan
tentang tanggung jawab itu lahir dari intuisi yang mengarahkannya untuk memikul
amanat yang tidak banyak orang terpanggil. Dari sanalah seleksi itu muncul;
dari pemenuhan keterpanggilan jiwa untuk membantu orang-orang menemukan jati
diri mereka, bukan karena iming-iming materi atau rasa haus akan puja dan puji.
Guru-pemimpin, dan pemimpin-guru, ibarat dua sisi keping mata uang yang sama
yakni kepemimpinan sejati. Maka sosok pemimpin haruslah mampu memainkan peran
seorang guru bagi rakyatnya. Ia tidak hanya mampu mengusahakan kesejahteraan
ekonomi dan menciptakan rasa aman. Sosok pemimpin-guru pastilah menyadari
tugasnya untuk mengeluarkan potensi terpendam bangsa yang dipimpinnya serta
mengarahkan segenap potensi itu demi tujuan yang luhur dan mulia.
Pemimpin
berjiwa guru tidak akan merusak akal bangsanya dengan permainan citra atau
mengupayakan serangkaian pembenaran atas keputusannya yang salah. Sebab ia sadar sepenuhnya bahwa sosoknya wajib
memberikan bimbingan dan keteladanan. Ia tidak akan memberi ruang toleransi
sedikitpun pada dirinya apalagi berharap rakyatnya memaklumi kekurangannya itu.
Pemakluman atas kekurangan justru ia
tuntut pada dirinya sendiri mana kala memandang pelbagai keterbatasan rakyat
yang berada di bawah kepemimpinannya. “Ini urusan saya, dan sepenuhnya saya
bertanggung jawab” akan ia katakan dengan jantan manakala hal buruk menimpa
rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin berjiwa guru akan selalu merasa terpanggil
untuk turun tangan ketika jajarannya berlaku tidak adil atau sewenang-wenang.
Ia akan mengayomi rakyat dengan kasih sayang dan membatu mereka untuk tumbuh
menjadi bangsa yang berdaya, tentu saja dalam cahaya ilmu pengetahuan[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar