Laman

Kamis, 18 Desember 2014

“Bukan Urusan Saya”: Refleksi Pudarnya visi Pemimpin-Guru

http://irresponsibility.files.wordpress.com/2011/03/pin.png
Pada dasarnya setiap bangsa di mana pun secara alamiah mendambakan sosok pemimpin yang berjiwa seorang pendidik, atau pemimpin-guru. Sebab setiap manusia secara instingtif merasakan bahwa kehadirannya di muka bumi bukanlah tanpa tujuan. Namun untuk mengenali tujuan itu manusia membutuhkan bimbingan dan arahan guna menggapainya dengan selamat, demikian pula halnya rakyat—yang berisi kumpulan manusia. Tuntutan atas adab dan moralitas sosok pemimpin dalam konteks ini menjadi absah mengingat pada dirinya melekat fungsi keteladanan yang merangkum seluruh nilai kebajikan hingga  dapat dijadikan rujukan praktik yang hidup dan membumi.
Dari sini bisa dimengerti jika beberapa saat yang lalu publik negeri ini geram ketika Presiden Joko Widodo dengan enteng mengatakan “Bukan urusan Saya” untuk kesekian kalinya saat dimintai keterangan ihwal implikasi keputusannya. Puncaknya adalah respon beliau atas peristiwa terbunuhnya seorang aktivis demonstrasi yang menentang pencabutan subsidi BBM. Kegeraman rakyat mengemuka sebab kalimat penafikan tanggung jawab tersebut bukan hanya mencederai rasa kemanusiaan, tapi juga merupakan bentuk penghianatan atas fungsi pengayoman dan moral kepemimpinan. Di samping itu kalimat negasi tersebut berpotensi merusak konstruksi akal sehat tentang alur dan lingkup tanggung jawab seorang pemimpin dalam suatu Negara. Sebab meskipun ia memiliki jajaran institusi yang mengurusi pelbagai bidang, toh pada dasarnya jajaran itu berada di bawah kendali dan otoritasnya hingga “cuci tangan” menjadi tindakan absurd. Lebih-lebih jika tindakan itu dikemas dalam retorika cacat pikir yang ditebarkan demi memenangkan penerimaan rakyat atas keputusannya.

Bahwa tidak setiap keputusan populis selalu membawa kebaikan, kita tentu mafhum. Namun tidak dapat dibenarkan jika dalam rangka memberikan pemahaman atas keputusannya itu, seorang pemimpin mencederai akal sehat rakyat yang dipimpinnya dengan serangkaian retorika manipulatif. Kritik atas morallitas retorika kepemimpinan semacam ini sejatinya telah berusia ribuan tahun. Tercatat bagaimana Nabi Ibrahim as, para pemuda ashabul kahfi, Nabi Musa as, hingga filsuf besar seperti Socrates dan Platon telah mencoba memberikan koreksi bahwa bentuk komunikasi yang sekadar berpretensi memenangkan kepatuhan dan penerimaan rakyat dapat merusak konstruksi moralitas dan kebenaran jika bukan malah musuh kebenaran itu sendiri.

Reorientasi Pendidikan dan Relevansi Jiwa Pemimpin-Guru

Pudarnya visi pendidik dalam konsep kepemimpinan dan degradasi nilai pendidikan dalam suatu Negara bisa dituding sebagai cikal bakal menculnya fenomena gaya kepemimpinan semacam ini. Ada semacam pergeseran paradigma kepemimpinan menjadi sekadar soal manajerial hingga memerlakukan Negara layaknya perusahaan dan rakyat sebagai sumber daya. Rakyat akhirnya digiring kepada tujuan residual melalu pelbagai sugesti yang kerap kali hanya mementingkan efektifitas, efisiensi dan ujung-ujungnya bermuara pada keuntungan material segelintir orang, alih-alih mewujudkan kebaikan bersama. Dalam hal ini tentu pembangunan intelektual dan spiritual rakyat kerap diabaikan jika bukan hanya tampil dalam selogan dan retorika saat kampanye.
Paradigma kepemimpinan tersebut tentu tidak akan mampu mengakomodasi visi pendidikan rakyat. Sebab pendidikan pertama-tama merupakan soal menanamkan adab pada jiwa seseorang agar memiliki sikap yang luhur terhadap diri sendiri, orang lain, ilmu pengetahuan, serta alam dan kehidupan.  Sebab materi dan informasi saja tidak pernah cukup untuk mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang baik. Materi dan informasi haruslah diapresiasi melalui serangkaian sikap dan disiplin yang tepat agar menjadi ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat dalam menjalani kehidupan. Dari sana kebutuhan akan sosok pembimbing dan pengasuh diperlukan agar seseorang  mendapat panduan bersikap  melalui serangkaian teladan maupun teguran peringatan. Pembimbing dan pengasuh inilah yang lazim kita sebut sebagai guru.
Guru adalah figur yang menghimpun pelbagai tanggung jawab besar. Padanya arah gerak peradaban bangsa ditentukan. Akankah peradaban itu bergerak ke arah yang lebih baik, atau mundur, remuk dan runtuh dalam arus pusaran zaman, para pendidik khususnya guru-lah yang mengambil peran utama. Dalam konteks ini, sosok guru dapat dibaca sebagai pemimpin peradaban yang sesungguhnya. Bukan ilmuwan, politisi, atau pedagang. Dalam khazanah Yunani antik, peran pendidik sebagai pemimpin sendiri tersirat dalam syair-syair kepahlawanan homerik demikian pula dalam khazanah peradaban Islam klasik, selain berperan sebagai orangtua, mereka juga mengemban tugas sebagai pemimpin yang harus mengoreksi kelemahan spiritual, intelektual, sikap, dan tingkah laku individu-individu yang berada dalam bimbingannya(Wan Daud, 2003)

Jiwa Pemimpin Sejati

Kepemimpinan berjiwa guru oleh karenanya dibutuhkan dalam Negara yang mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang adil dan beradab. Sebab jiwa seorang pendidik sejati secara otomatis menyadari tanggung jawab yang diembannya. Pengetahuan tentang tanggung jawab itu lahir dari intuisi yang mengarahkannya untuk memikul amanat yang tidak banyak orang terpanggil. Dari sanalah seleksi itu muncul; dari pemenuhan keterpanggilan jiwa untuk membantu orang-orang menemukan jati diri mereka, bukan karena iming-iming materi atau rasa haus akan puja dan puji. Guru-pemimpin, dan pemimpin-guru, ibarat dua sisi keping mata uang yang sama yakni kepemimpinan sejati. Maka sosok pemimpin haruslah mampu memainkan peran seorang guru bagi rakyatnya. Ia tidak hanya mampu mengusahakan kesejahteraan ekonomi dan menciptakan rasa aman. Sosok pemimpin-guru pastilah menyadari tugasnya untuk mengeluarkan potensi terpendam bangsa yang dipimpinnya serta mengarahkan segenap potensi itu demi tujuan yang luhur dan mulia.
Pemimpin berjiwa guru tidak akan merusak akal bangsanya dengan permainan citra atau mengupayakan serangkaian pembenaran atas keputusannya yang salah.  Sebab ia sadar sepenuhnya bahwa sosoknya wajib memberikan bimbingan dan keteladanan. Ia tidak akan memberi ruang toleransi sedikitpun pada dirinya apalagi berharap rakyatnya memaklumi kekurangannya itu. Pemakluman atas kekurangan  justru ia tuntut pada dirinya sendiri mana kala memandang pelbagai keterbatasan rakyat yang berada di bawah kepemimpinannya. “Ini urusan saya, dan sepenuhnya saya bertanggung jawab” akan ia katakan dengan jantan manakala hal buruk menimpa rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin berjiwa guru akan selalu merasa terpanggil untuk turun tangan ketika jajarannya berlaku tidak adil atau sewenang-wenang. Ia akan mengayomi rakyat dengan kasih sayang dan membatu mereka untuk tumbuh menjadi bangsa yang berdaya, tentu saja dalam cahaya ilmu pengetahuan[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar