Sumber gambar: http://septianreynaldi.wordpress.com/ |
Siapa anak didik kita? Seorang guru
mungkin akan menjawab, “Andi, Yuli, Bandi, Slamet, Fifi,” dan seterusnya. Tapi
tidak. Itu bukan anak didik kita. Guru
lain menjawab, “ Oh, anak didik kita dari bermacam-macam latar belakang. Ada
yang dari keluarga berada, ada yang dhuafa, ada yang orangtuanya pemuka agama,
ada yang dibesarkan oleh seorang mantan narapidana dan preman.” Tapi tidak. Itu
pun bukan anak didik kita. Guru ketiga boleh jadi akan melengkapi, “Anak didik
kita adalah mereka yang berkebutuhan khusus. Kebanyakan mengidap autisme atau
semacamnya”. Tapi tidak. Itu bukan anak didik kita.
Siapa anak didik kita, adalah
pertanyaan yang sama rumitnya dengan siapa sesungguhnya diri kita. Kita tidak
akan puas jika hanya sampai pada jawaban “saya Wawan, saya Desti, saya Ghani”,
sebab itu hanya sebuah nama. Nama kita tidak lebih dari sekadar kesepakatan
orang-orang terdekat untuk menyebut diri kita. Di dalamnya mungkin ada doa-doa
dan harapan, tapi tentu saja nama bukanlah diri kita yang sesungguhnya. Kita
juga tentu tidak akan cukup puas manakala status dalam keluarga menjadi penanda
utuh atas diri kita. Sebutlah status sebagai anak, ayah, ibu atau pun kakek dan
nenek. Atau atribut-atribut semacam kaum marginal, aparat hukum, buruh, pemilik
modal, dan seterusnya. Kita lebih dari sekadar nama, status sosial, atau pun
status dalam keluarga. Latar ekonomi pun tentu bukan diri kita. Maka demikian
pula anak didik kita.
Mereka mungkin kita kenal dengan
sebutan, Wawan, Wati, Doni, atau Ira. Mereka mungkin kita ketahui berasal dari
keluarga hartawan atau di bawah garis kemiskinan. Namun entitas manusia jauh
lebih kaya dan dalam dari semua atribut yang diberikan lingkungan. Pada diri
tiap-tiap individu terdapat aspek jasadi, mental, dan spiritual. Ia adalah ruh
dan jasad.Ia memiliki sesuatu yang tetap maupun yang berubah. Nama, kedudukan,
status sosial dan ekonomi bisa berubah sebagaimana halnya jasad kita yang terus
berubah dari waktu ke waktu. Persoalannya, kita memang lebih mudah mengenali
sesuatu yang berubah ketimbang yang tetap. Sebagaimana kita lebih mudah
mengenali atribut ketimbang substansi. Atau gejala ketimbang penyebab.
Maka pertanyaan mengenai siapa
sesungguhnya anak didik kta haruslah dijawab dengan memandang keseluruhan unsur
dalam diri manusia. Dia mungkin bernama Wawan, Rita, Dina, atau Andi, tapi dia
juga merupakan makhluk Allah yang di dalamnya telah ditiupkan Ruh-Nya yang
suci. Dia diciptakan dengan sebuah tujuan yang agung, tidak sia-sia, sebab
tidak pernah ada ciptaanNya yang sia-sia. Dia mengemban tujuan umum dan
khususnya sendiri. Masing-masing anak didik itu unik dan mengemban tujuan yang
spesifik. Dan ini tercermin dari potensi jasad, akal dan spiritualnya yang
beragam. Hal ini kerap tidak disadari oleh para pendidik.
Pengaruh filsafat realisme dan
materialisme tidak dapat dipungkiri memiliki andil dalam cara pendidik kita
memandang anak-anak didiknya. Salah satunya adalah pandangan yang menganggap
anak didik sekadar produk dari lingkungan dimana dia berada. Anak didik atau manusia
pada umumnya ibarat kertas kosong yang terbentuk secara bertahap melalui
pengalaman dan atau sumber pengetahuan indrawi atau yang lebih dikenal dengan
asumsi tabula rasa. Ia ibarat tanah liat yang awalnya tak berbentuk untuk
kemudian mendapatkan wujudnya dari faktor lingkungan di mana ia berada. Dalam
pandangan ini seorang pendidik tentu akan mengira dapat membentuk anak-anak
didiknya sesuai keinginannya layaknya pengrajin tembikar memproduksi gerabah.
Tapi itu bukan anak didik kita. Ia
bukan sekadar tanah lempung atau kertas kosong yang dapat kita bentuk dan isi
sesuka hati. Ia dilahirkan bersama cetak biru yang berisi tujuan pencipta
khususnya di mana peran dirinya tidak bisa digantikan orang lain. Ia hadir ke
dunia ini dengan desain sempurna dari Yang Maha Kuasa untuk memenuhi tujuan
itu. Bahwa keluarga dan lingkungan memiliki pengaruh, tak bisa kita sangkal.
Namun pengaruh itu tidak pernah mampu mengubah secara total jati dirinya.
Pengaruh lingkungan dan keluarga amat mungkin mengarahkannya untuk menjadi
seniman, guru, dokter, ataupun penjahat. Tapi pengarahan yang benar bukanlah
bertujuan untuk menjadikan anak didik menjadi orang lain. Tujuan pendidikan
sebelum era modern, di mana-mana sama: Mewujudkan manusia yang baik, manusia
paripurna. Dalam khazanah Islam dikenal dengan sebutan insan kamil.
Manusia yang baik adalah ia yang
menyadari kemanusiaan dirinya. Ia mengenali dirinya sendiri dan mengerti tujuan
di balik penciptaannya. Ia tidak berobsesi menjadi orang lain. Ia tidak ingin
menjadi Habibie, Enstein, Michael Jordan, atau pun Justin Beiber. Sebab
sebagaimana potensinya, ia memiliki desainnya sendiri. Dan seorang pendidik
haruslah dapat mengarahkan tujuan muridnya dalam mencari ilmu yakni untuk
mengenal dirinya. Pendidik yang mengerti siapa anak didiknya tidak akan
menjadikan materi sebagai motivasi bagi muridnya untuk belajar. Atau
memborbardir mereka dengan dorongan untuk mengambil jurusan favorit saat lulus
sekolah menengah. Atau mengarahkan mereka untuk mengambil jurusan yag
memudahkan mereka mencari pekerjaan kelak. Tidak demikian. Pendidik yang
mengerti siapa anak didiknya akan mengarahkan mereka untuk memilih sesuatu yang
tepat sesuai potensi muridnya. Tidak peduli apakah pilihan itu populer atau
tidak, berpotensi menghasilkan banyak uang atau tidak. Semua demi mengarahkan
muridnya untuk lebih dekat dengan dirinya sendiri.
Dalam situasi belajar, terkadang
seorang pendidik bahkan perlu menyembunyikan pengetahuan tertentu jika muridnya
dirasa tidak memiliki persiapan atau pun potensi yang memadai untuk menyerap
ilmu itu. Ia tidak akan memaksakan pengajarannya diserap sementara muridnya
tidak memiliki kesiapan akal dan spiritual untuk itu. Dan karena itu pula ia
tidak akan buru-buru memberi cap bodoh atau sejenisnya. Tentang hal ini
kearifan Imam Al-Ghazali ada baiknya untuk kita perhatikan. Sang Hujjatul Islam
konon membagi bukunya ke dalam beberapa kategori berdasarkan potensi
pembacanya. Ada kitab-kitab tertentu yang diperuntukkan untuk mereka yang awam
sementara kitab lainnya diperuntukkan bagi orang-orang khusus, yakni mereka
yang telah memiliki persiapan akal yang lebih baik. Begitu pula bagi kalangan
khusus dari yang khusus, mereka memiliki jatah kitabnya sendiri, dikarenakan
persiapan akal dan spiritualnya sdh melampaui orang-orang dari kategori khusus.
Maka dalam akhir bab pertama Misykat Al-Anwar Al-Ghazali berpesan bagi siapa
pun yang tidak mampu memahami uraiannya pada bab tersebut agar berhenti
melanjutkan membaca kitabnya itu. Ia menyarankan pembacanya yang tidak mampu
memahami untuk belajar hal lain saja. “Tiap ilmu ada orangnya,” kata Al-Ghazali
sembari mengutip hadist Rasulullah SAW “Setiap orang dimudahkan melakukan
sesuatu yang untuknya ia diciptakan.”(HR. Muslim). Albert Einstein punya
kalimat sendiri tentang hal ini, “Setiap anak terlahir jenius. Tapi jika anda
memaksa seekor ikan untuk memanjat pohon, ikan itu akan menghabiskan seluruh
hidupnya untuk berpikir bahwa dirinya bodoh.”
Gunting kuku dan kapak keduanya sama-sama alat
potong tapi bukan berarti dapat saling menggantikan dalam penggunaannya. Jika
kapak kita gunakan untuk memotong kuku, yang terjadi mungkin adalah bencana.
Begitu pula jika kita gunakan gunting kuku untuk menebang sebuah pohon, yang
terjadi kita akan kepayahan. Sebab desain keduanya berbeda. Tujuan diciptakan
keduanya berbeda. Sama halnya dengan potensi kita. Begitu pula anak didik kita.
Lantas, siapa sesungguhnya anak didik
kita? Pertanyaan ini mungkin tidak dapat dijawab hanya dengan keterangan
semata. Ia harus dijawab dengan kata kerja: Mengenali. Kenalilah anak didik kita. Sapalah namanya.
Tataplah matanya. Lihatlah hingga kedalam dirinya. Gunakanlah kalbu untuk
menyapa kalbunya. Gali potensinya. Sadari keberadaannya. Dengarkan keluhannya.
Ajaklah ia untuk mengenal Tuhannya dengan menggali siapa dirinya. Dan yakinkan
diri bahwa anak didik kita adalah kreasi sempurna dan bagian dari rencanaNya
Yang Maha Indah[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar