Laman

Senin, 20 Oktober 2014

Siapa Anak Didik Kita ?

Sumber gambar: http://septianreynaldi.wordpress.com/
Siapa anak didik kita? Seorang guru mungkin akan menjawab, “Andi, Yuli, Bandi, Slamet, Fifi,” dan seterusnya. Tapi tidak. Itu bukan anak didik kita.  Guru lain menjawab, “ Oh, anak didik kita dari bermacam-macam latar belakang. Ada yang dari keluarga berada, ada yang dhuafa, ada yang orangtuanya pemuka agama, ada yang dibesarkan oleh seorang mantan narapidana dan preman.” Tapi tidak. Itu pun bukan anak didik kita. Guru ketiga boleh jadi akan melengkapi, “Anak didik kita adalah mereka yang berkebutuhan khusus. Kebanyakan mengidap autisme atau semacamnya”. Tapi tidak. Itu bukan anak didik kita.
Siapa anak didik kita, adalah pertanyaan yang sama rumitnya dengan siapa sesungguhnya diri kita. Kita tidak akan puas jika hanya sampai pada jawaban “saya Wawan, saya Desti, saya Ghani”, sebab itu hanya sebuah nama. Nama kita tidak lebih dari sekadar kesepakatan orang-orang terdekat untuk menyebut diri kita. Di dalamnya mungkin ada doa-doa dan harapan, tapi tentu saja nama bukanlah diri kita yang sesungguhnya. Kita juga tentu tidak akan cukup puas manakala status dalam keluarga menjadi penanda utuh atas diri kita. Sebutlah status sebagai anak, ayah, ibu atau pun kakek dan nenek. Atau atribut-atribut semacam kaum marginal, aparat hukum, buruh, pemilik modal, dan seterusnya. Kita lebih dari sekadar nama, status sosial, atau pun status dalam keluarga. Latar ekonomi pun tentu bukan diri kita. Maka demikian pula anak didik kita.

Mereka mungkin kita kenal dengan sebutan, Wawan, Wati, Doni, atau Ira. Mereka mungkin kita ketahui berasal dari keluarga hartawan atau di bawah garis kemiskinan. Namun entitas manusia jauh lebih kaya dan dalam dari semua atribut yang diberikan lingkungan. Pada diri tiap-tiap individu terdapat aspek jasadi, mental, dan spiritual. Ia adalah ruh dan jasad.Ia memiliki sesuatu yang tetap maupun yang berubah. Nama, kedudukan, status sosial dan ekonomi bisa berubah sebagaimana halnya jasad kita yang terus berubah dari waktu ke waktu. Persoalannya, kita memang lebih mudah mengenali sesuatu yang berubah ketimbang yang tetap. Sebagaimana kita lebih mudah mengenali atribut ketimbang substansi. Atau gejala ketimbang penyebab.
Maka pertanyaan mengenai siapa sesungguhnya anak didik kta haruslah dijawab dengan memandang keseluruhan unsur dalam diri manusia. Dia mungkin bernama Wawan, Rita, Dina, atau Andi, tapi dia juga merupakan makhluk Allah yang di dalamnya telah ditiupkan Ruh-Nya yang suci. Dia diciptakan dengan sebuah tujuan yang agung, tidak sia-sia, sebab tidak pernah ada ciptaanNya yang sia-sia. Dia mengemban tujuan umum dan khususnya sendiri. Masing-masing anak didik itu unik dan mengemban tujuan yang spesifik. Dan ini tercermin dari potensi jasad, akal dan spiritualnya yang beragam. Hal ini kerap tidak disadari oleh para pendidik.
Pengaruh filsafat realisme dan materialisme tidak dapat dipungkiri memiliki andil dalam cara pendidik kita memandang anak-anak didiknya. Salah satunya adalah pandangan yang menganggap anak didik sekadar produk dari lingkungan dimana dia berada. Anak didik atau manusia pada umumnya ibarat kertas kosong yang terbentuk secara bertahap melalui pengalaman dan atau sumber pengetahuan indrawi atau yang lebih dikenal dengan asumsi tabula rasa. Ia ibarat tanah liat yang awalnya tak berbentuk untuk kemudian mendapatkan wujudnya dari faktor lingkungan di mana ia berada. Dalam pandangan ini seorang pendidik tentu akan mengira dapat membentuk anak-anak didiknya sesuai keinginannya layaknya pengrajin tembikar memproduksi gerabah.
Tapi itu bukan anak didik kita. Ia bukan sekadar tanah lempung atau kertas kosong yang dapat kita bentuk dan isi sesuka hati. Ia dilahirkan bersama cetak biru yang berisi tujuan pencipta khususnya di mana peran dirinya tidak bisa digantikan orang lain. Ia hadir ke dunia ini dengan desain sempurna dari Yang Maha Kuasa untuk memenuhi tujuan itu. Bahwa keluarga dan lingkungan memiliki pengaruh, tak bisa kita sangkal. Namun pengaruh itu tidak pernah mampu mengubah secara total jati dirinya. Pengaruh lingkungan dan keluarga amat mungkin mengarahkannya untuk menjadi seniman, guru, dokter, ataupun penjahat. Tapi pengarahan yang benar bukanlah bertujuan untuk menjadikan anak didik menjadi orang lain. Tujuan pendidikan sebelum era modern, di mana-mana sama: Mewujudkan manusia yang baik, manusia paripurna. Dalam khazanah Islam dikenal dengan sebutan insan kamil.
Manusia yang baik adalah ia yang menyadari kemanusiaan dirinya. Ia mengenali dirinya sendiri dan mengerti tujuan di balik penciptaannya. Ia tidak berobsesi menjadi orang lain. Ia tidak ingin menjadi Habibie, Enstein, Michael Jordan, atau pun Justin Beiber. Sebab sebagaimana potensinya, ia memiliki desainnya sendiri. Dan seorang pendidik haruslah dapat mengarahkan tujuan muridnya dalam mencari ilmu yakni untuk mengenal dirinya. Pendidik yang mengerti siapa anak didiknya tidak akan menjadikan materi sebagai motivasi bagi muridnya untuk belajar. Atau memborbardir mereka dengan dorongan untuk mengambil jurusan favorit saat lulus sekolah menengah. Atau mengarahkan mereka untuk mengambil jurusan yag memudahkan mereka mencari pekerjaan kelak. Tidak demikian. Pendidik yang mengerti siapa anak didiknya akan mengarahkan mereka untuk memilih sesuatu yang tepat sesuai potensi muridnya. Tidak peduli apakah pilihan itu populer atau tidak, berpotensi menghasilkan banyak uang atau tidak. Semua demi mengarahkan muridnya untuk lebih dekat dengan dirinya sendiri.
Dalam situasi belajar, terkadang seorang pendidik bahkan perlu menyembunyikan pengetahuan tertentu jika muridnya dirasa tidak memiliki persiapan atau pun potensi yang memadai untuk menyerap ilmu itu. Ia tidak akan memaksakan pengajarannya diserap sementara muridnya tidak memiliki kesiapan akal dan spiritual untuk itu. Dan karena itu pula ia tidak akan buru-buru memberi cap bodoh atau sejenisnya. Tentang hal ini kearifan Imam Al-Ghazali ada baiknya untuk kita perhatikan. Sang Hujjatul Islam konon membagi bukunya ke dalam beberapa kategori berdasarkan potensi pembacanya. Ada kitab-kitab tertentu yang diperuntukkan untuk mereka yang awam sementara kitab lainnya diperuntukkan bagi orang-orang khusus, yakni mereka yang telah memiliki persiapan akal yang lebih baik. Begitu pula bagi kalangan khusus dari yang khusus, mereka memiliki jatah kitabnya sendiri, dikarenakan persiapan akal dan spiritualnya sdh melampaui orang-orang dari kategori khusus. Maka dalam akhir bab pertama Misykat Al-Anwar Al-Ghazali berpesan bagi siapa pun yang tidak mampu memahami uraiannya pada bab tersebut agar berhenti melanjutkan membaca kitabnya itu. Ia menyarankan pembacanya yang tidak mampu memahami untuk belajar hal lain saja. “Tiap ilmu ada orangnya,” kata Al-Ghazali sembari mengutip hadist Rasulullah SAW “Setiap orang dimudahkan melakukan sesuatu yang untuknya ia diciptakan.”(HR. Muslim). Albert Einstein punya kalimat sendiri tentang hal ini, “Setiap anak terlahir jenius. Tapi jika anda memaksa seekor ikan untuk memanjat pohon, ikan itu akan menghabiskan seluruh hidupnya untuk berpikir bahwa dirinya bodoh.”
 Gunting kuku dan kapak keduanya sama-sama alat potong tapi bukan berarti dapat saling menggantikan dalam penggunaannya. Jika kapak kita gunakan untuk memotong kuku, yang terjadi mungkin adalah bencana. Begitu pula jika kita gunakan gunting kuku untuk menebang sebuah pohon, yang terjadi kita akan kepayahan. Sebab desain keduanya berbeda. Tujuan diciptakan keduanya berbeda. Sama halnya dengan potensi kita. Begitu pula anak didik kita.
Lantas, siapa sesungguhnya anak didik kita? Pertanyaan ini mungkin tidak dapat dijawab hanya dengan keterangan semata. Ia harus dijawab dengan kata kerja: Mengenali.  Kenalilah anak didik kita. Sapalah namanya. Tataplah matanya. Lihatlah hingga kedalam dirinya. Gunakanlah kalbu untuk menyapa kalbunya. Gali potensinya. Sadari keberadaannya. Dengarkan keluhannya. Ajaklah ia untuk mengenal Tuhannya dengan menggali siapa dirinya. Dan yakinkan diri bahwa anak didik kita adalah kreasi sempurna dan bagian dari rencanaNya Yang Maha Indah[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar