Laman

Sabtu, 21 Juni 2014

Korupsi dan Darurat Pendidikan

Sumber gambar: http://www.notbeinggoverned.com
“Korupsi adalah unsur tunggal terbesar yang bisa dijumpai di India. Semua jalan, dari rumah sakit bersalin sampai ke tempat perabuan, berbau korupsi. Tidak seorang pun bebas dari padanya, tidak ada ruang tanpa korupsi sebagai upacara.” Demikian kesaksian Chetana Kohli tentang korupsi di India pasca perang dunia kedua sebagaimana dikutip Syed Hussein Alatas(1983) dalam bukunya Corruption, its nature, causes and functions.
            Demikian merajalelanya korupsi di India pada periode tersebut, hingga konon seorang siswa sekolah kerap dimintai upeti oleh gurunya berupa berbagai macam barang demi sebuah nilai. Pemberian upeti tersebut menggeser tradisi lama anak-anak India yang terbiasa memberikan bunga sebagai tanda penghargaan bagi gurunya. Pada periode yang sama, dikisahkan seorang suami yang mendapati istrinya bunuh diri, diperas oleh seorang agen polisi setempat untuk membayar sejumlah uang kepada pembantu inspektur polisi sebagai jaminan tidak dipersoalkannya kelalaian sang suami melaporkan insiden tersebut. Fenomena ini merupakan pucuk gunung es dari maraknya pemerasan oleh oknum aparatur Negara.(Alatas,1983)

Membaca ancaman terbesar
            Demikianlah, bahkan hingga dekade ini korupsi masih menjadi momok yang mencekam negri anak benua itu. Belum ditemukan solusi yang jitu untuk menyelesaikan problematika ini. Maka pertumbuhan ekonomi India yang tinggi tak pernah mampu berimbas pada pemerataan kesejahteraan. Angka kemiskinan melejit, dan tingkat kriminalitas berada pada level yang memprihatinkan. Memang, yang lebih menakutkan dari ikhwal kesejahteraan, adalah rusaknya fondasi mental dan spiritual dalam arsitektur peradaban sebuah bangsa. Sebab, jika sebuah perilaku buruk telah membudaya, ia akan menjelma atmosfer yang mau tidak mau akan terhirup dan merasuki nadi-nadi generasi bangsa. “Pada hemat saya, suatu bangsa yang anak mudanya tidak memperoleh bimbingan karena tak seorang pun yang dapat melakukannya, maka bangsa itu akan runtuh. Mereka akan lebih hebat lagi melakukan korupsi daripada pendahulunya. Mereka menguasai teknik-teknik baru, suatu kehilangan baru atas kesucian India dan tidak adanya rasa keagamaan telah membawa mereka pada keadaan ini,” ungkap Vimla Patil.
Apa yang dapat kita pelajari dari kasus fenomena korupsi di India adalah betapa ancaman perilaku ini begitu nyata bagi peradaban sebuah bangsa. Betapa perilaku korup yang begitu mewabah sanggup menggeser nilai-nilai dalam masyarakat hingga merambahi seluruh dimensi kehidupan. Situasi inilah yang mesti diinsyafi betul oleh bangsa kita dalam memandang bahaya korupsi yang juga merebak di tanah air. Taruhannya adalah masa depan generasi muda, sesuatu yang kini belum dipandang serius dalam kerja-kerja kebagsaan. Selama ini korupsi cenderung hanya dipandang sebagai tindak kriminal semata sehingga tidak ada fokus kerja yang lebih visioner dalam upaya pemberantasannya.
            Sekonyong-konyong nasib sektor pendidikan yang notabene adalah pilar peradaban sekaligus asal muasal hampir seluruh penyakit masyarakat dalam kondisi sekarat. Pelacuran intelektual merebak, sembari diselingi perilaku plagiat tanpa rasa malu demikian semarak. Perguruan tinggi berlomba-lomba membuka jurusan dengan pertimbangan pasar tanpa memperhatikan kebutuhan bangsa akan karakter luhur dan kecakapan serta yang tidak kalah penting: bakat siswanya. Tidak heran jika kemudian sarjana ekonomi dan hukum mengalami  over supply dan menjadi masalah baru bernama pengangguran terdidik, atau lulusan kedokteran tak cakap yang akhirnya menumbuhsuburkan malpraktik. Gelar perguruan tinggi berkelas dunia demikian digandrungi, hingga pemenuhan kriteria World Class University (WCU) menjadi lebih penting ketimbang kerja-kerja menegakkan etika keilmuan. Lantas kita bertanya, lulusan macam apa yang hendak kita tuai kelak?
Prioritas itu bernama pendidikan  
Pendidikan adalah soko guru peradaban. Ia adalah determinan yang amat berperan bagi nasib suatu bangsa. Kondisi kita hari ini termasuk mewabahnya praktik korupsi tidak dapat dilepaskan dari seluruh kontruksi kebijakan pendidikan yang amat keropos mulai dari jenjang terendah hingga yang paling tinggi. Orientasi pendidikan kita yang bercorak materialistis mendapat pembiaran meski kerap kali dibantah dalam mimbar-mimbar seminar. Akibatnya hampir seluruh idealisme pendidikan beserta filosofinya seperti menguap dan urung menjadi kenyataan kasat mata. Perdebatan mengenai pendidikan pun akhirnya bergeser ke arah superficial seperti perlu tidaknya diadakan Ujian Nasional serta problematika infrastruktur pendidikan semacam gedung sekolah dan pengadaan jaringan internet!
           Ongkos peradaban yang mesti kita bayar akibat pembiaran sektor pendidikan di tengah mewabahnya korupsi teramat besar. Karenanya dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi, sektor inilah yang pertama-tama harus diselamatkan. Aparat penegak hukum perlu melakukan pembersihan besar-besaran terhadap praktik pelanggaran hukum khususnya di departemen pendidikan dan kebudayaan. Jangan sampai departemen ini menjadi sarang praktik korupsi dalam aneka bentuk. Di saat yang sama, departemen tersebut juga wajib aktif mengawasi praktik-praktik pelanggaran etika akademik semacam plagiarisme serta mendorong institusi pendidikan untuk memperhatikan pendidikan karakter siswanya lebih dari sekadar penguasaan ilmu dan teknologi. Metodologi pengajaran ilmu agama perlu ditinjau kembali, sehingga dapat ditemukan rumusan yang handal dan berdampak langsung pada transformasi kepribadian peserta didik.
Watak luhur baik pendidik, siswa dan mahasiswa haruslah menjadi bagian dari standar pencapaian sebuah institusi pendidikan sesulit apapun membuat dasar penilaiannya. Sebab pada hakekatnya pendidikan selalu bertujuan untuk membentuk manusia yang baik. Jika seluruh insan pendidikan menyadari tujuan ini, maka bisa dipastikan pelbagai motif materialistis akan tertolak dengan sendirinya dan mata rantai korupsi yang menjerat bangsa ini segera terputus. Karena sebagaimana yang dikatakan Alatas, korupsi tidak lain adalah perwujudan immoral dari hasrat untuk memperoleh sesuatu[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar