Sumber gambar: http://www.notbeinggoverned.com |
“Korupsi
adalah unsur tunggal terbesar yang bisa dijumpai di India. Semua jalan, dari
rumah sakit bersalin sampai ke tempat perabuan, berbau korupsi. Tidak seorang
pun bebas dari padanya, tidak ada ruang tanpa korupsi sebagai upacara.”
Demikian kesaksian Chetana Kohli tentang korupsi di India pasca perang dunia
kedua sebagaimana dikutip Syed Hussein Alatas(1983) dalam bukunya Corruption, its nature, causes and functions.
Demikian merajalelanya korupsi di India
pada periode tersebut, hingga konon seorang siswa sekolah kerap dimintai upeti
oleh gurunya berupa berbagai macam barang demi sebuah nilai. Pemberian upeti
tersebut menggeser tradisi lama anak-anak India yang terbiasa memberikan bunga
sebagai tanda penghargaan bagi gurunya. Pada periode yang sama, dikisahkan seorang
suami yang mendapati istrinya bunuh diri, diperas oleh seorang agen polisi
setempat untuk membayar sejumlah uang kepada pembantu inspektur polisi sebagai
jaminan tidak dipersoalkannya kelalaian sang suami melaporkan insiden tersebut.
Fenomena ini merupakan pucuk gunung es dari maraknya pemerasan oleh oknum
aparatur Negara.(Alatas,1983)
Membaca ancaman terbesar
Demikianlah, bahkan hingga dekade
ini korupsi masih menjadi momok yang mencekam negri anak benua itu. Belum
ditemukan solusi yang jitu untuk menyelesaikan problematika ini. Maka
pertumbuhan ekonomi India yang tinggi tak pernah mampu berimbas pada pemerataan
kesejahteraan. Angka kemiskinan melejit, dan tingkat kriminalitas berada pada
level yang memprihatinkan. Memang, yang lebih menakutkan dari ikhwal
kesejahteraan, adalah rusaknya fondasi mental dan spiritual dalam arsitektur
peradaban sebuah bangsa. Sebab, jika sebuah perilaku buruk telah membudaya, ia
akan menjelma atmosfer yang mau tidak mau akan terhirup dan merasuki nadi-nadi
generasi bangsa. “Pada hemat saya, suatu bangsa yang anak mudanya tidak
memperoleh bimbingan karena tak seorang pun yang dapat melakukannya, maka
bangsa itu akan runtuh. Mereka akan lebih hebat lagi melakukan korupsi daripada
pendahulunya. Mereka menguasai teknik-teknik baru, suatu kehilangan baru atas
kesucian India dan tidak adanya rasa keagamaan telah membawa mereka pada
keadaan ini,” ungkap Vimla Patil.
Apa
yang dapat kita pelajari dari kasus fenomena korupsi di India adalah betapa
ancaman perilaku ini begitu nyata bagi peradaban sebuah bangsa. Betapa perilaku
korup yang begitu mewabah sanggup menggeser nilai-nilai dalam masyarakat hingga
merambahi seluruh dimensi kehidupan. Situasi inilah yang mesti diinsyafi betul
oleh bangsa kita dalam memandang bahaya korupsi yang juga merebak di tanah air.
Taruhannya adalah masa depan generasi muda, sesuatu yang kini belum dipandang
serius dalam kerja-kerja kebagsaan. Selama ini korupsi cenderung hanya
dipandang sebagai tindak kriminal semata sehingga tidak ada fokus kerja yang
lebih visioner dalam upaya pemberantasannya.
Sekonyong-konyong nasib sektor
pendidikan yang notabene adalah pilar
peradaban sekaligus asal muasal hampir seluruh penyakit masyarakat dalam
kondisi sekarat. Pelacuran intelektual merebak, sembari diselingi perilaku
plagiat tanpa rasa malu demikian semarak. Perguruan tinggi berlomba-lomba
membuka jurusan dengan pertimbangan pasar tanpa memperhatikan kebutuhan bangsa
akan karakter luhur dan kecakapan serta yang tidak kalah penting: bakat
siswanya. Tidak heran jika kemudian sarjana ekonomi dan hukum mengalami over
supply dan menjadi masalah baru bernama pengangguran terdidik, atau lulusan
kedokteran tak cakap yang akhirnya menumbuhsuburkan malpraktik. Gelar perguruan tinggi berkelas dunia demikian
digandrungi, hingga pemenuhan kriteria World Class University (WCU) menjadi
lebih penting ketimbang kerja-kerja menegakkan etika keilmuan. Lantas kita
bertanya, lulusan macam apa yang hendak kita tuai kelak?
Prioritas itu bernama pendidikan
Pendidikan
adalah soko guru peradaban. Ia adalah determinan yang amat berperan bagi nasib
suatu bangsa. Kondisi kita hari ini termasuk mewabahnya praktik korupsi tidak
dapat dilepaskan dari seluruh kontruksi kebijakan pendidikan yang amat keropos
mulai dari jenjang terendah hingga yang paling tinggi. Orientasi pendidikan
kita yang bercorak materialistis mendapat pembiaran meski kerap kali dibantah
dalam mimbar-mimbar seminar. Akibatnya hampir seluruh idealisme pendidikan
beserta filosofinya seperti menguap dan urung menjadi kenyataan kasat mata.
Perdebatan mengenai pendidikan pun akhirnya bergeser ke arah superficial
seperti perlu tidaknya diadakan Ujian Nasional serta problematika infrastruktur
pendidikan semacam gedung sekolah dan pengadaan jaringan internet!
Ongkos peradaban yang mesti kita
bayar akibat pembiaran sektor pendidikan di tengah mewabahnya korupsi teramat
besar. Karenanya dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi, sektor inilah yang
pertama-tama harus diselamatkan. Aparat penegak hukum perlu melakukan
pembersihan besar-besaran terhadap praktik pelanggaran hukum khususnya di
departemen pendidikan dan kebudayaan. Jangan sampai departemen ini menjadi
sarang praktik korupsi dalam aneka bentuk. Di saat yang sama, departemen tersebut
juga wajib aktif mengawasi praktik-praktik pelanggaran etika akademik semacam
plagiarisme serta mendorong institusi pendidikan untuk memperhatikan pendidikan
karakter siswanya lebih dari sekadar penguasaan ilmu dan teknologi. Metodologi
pengajaran ilmu agama perlu ditinjau kembali, sehingga dapat ditemukan rumusan
yang handal dan berdampak langsung pada transformasi kepribadian peserta didik.
Watak
luhur baik pendidik, siswa dan mahasiswa haruslah menjadi bagian dari standar
pencapaian sebuah institusi pendidikan sesulit apapun membuat dasar
penilaiannya. Sebab pada hakekatnya pendidikan selalu bertujuan untuk membentuk
manusia yang baik. Jika seluruh insan pendidikan menyadari tujuan ini, maka
bisa dipastikan pelbagai motif materialistis akan tertolak dengan sendirinya
dan mata rantai korupsi yang menjerat bangsa ini segera terputus. Karena sebagaimana
yang dikatakan Alatas, korupsi tidak lain adalah perwujudan immoral dari hasrat
untuk memperoleh sesuatu[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar