Sumber: nafiul.wordpress.com |
Dalam setiap peringatan Hari
Ulang Tahun(HUT) di tengah-tengah bangsa yang masih didominasi kesadaran
komunal seperti Indonesia, kita akan dengan mudah mendapati wujudnya yang
seragam: dangkal dan kerap gegap gempita. Amat jarang kita jumpai suatu
perhelatan milad yang diisi oleh keheningan dan dijiwai semangat reflektif
mendalam. Peringatan hari kemerdekaan di kampung-kampung misalnya, masih
didominasi perlombaan yang terus diwariskan turun-temurun tanpa ada perubahan
tingkat pemaknaan berarti. Sementara pada masyarakat kelas menengah, ulang
tahun seorang individu lebih banyak dirayakan dengan prosesi hura-hura entah
dalam skala kecil maupun besar.
Fenomena
banalitas dan homogenitas di atas tentu memiliki penjelasan. Prof.Bambang
Sugiharto dalam sebuah kesempatan kuliah filsafat ilmu di Universitas
Parahyangan menuturkan, pola berpikir masyarakat komunal seperti masyarakat
Indonesia pada umumnya memang cenderung dangkal dan non-elaboratif. Akibatnya,
wujud ekspresi kebudayaannya akan
merefleksikan pola kedangkalan serupa. Hal ini disebabkan tradisi lisan amat
mendominasi pola komunikasi pada masyarakat semacam ini. Sementara tradisi
lisan cenderung mengedepankan nalar-nalar pendek yang berkebalikan dengan tradisi
tulisan yang membutuhkan nalar panjang atau elaboratif.
Di sini kita
bisa memahami ketika individu dalam
masyarakat komunal memiliki sikap yang cenderung seragam lantaran kurangnya
aktivitas perenungan kesejatian diri akibat nalar pendek tadi. Individu dengan
demikian sulit untuk merumuskan sikapnya sendiri. Bahkan alih-alih bersikap,
individu justru kerap kehilangan makna dan identitas manakala lepas dari
komunitasnya. Maka kesamaan ekspresi cenderung dirayakan dimana-mana dan
membentuk semacam falsafah populisme. Sementara falsafah inilah yang menjadi
motor utama aktivitas pencitraan. Hal ini tampak dalam perayaan ulang tahun
yang menjadi ajang bersenang-senang dan adu prestise.
Kondisi semacam
ini juga terjadi pada suatu institusi. Dalam kasus HUT, milad, atau sejenisnya,
hampir semua institusi di tanah air memiliki ciri yang serupa dalam merayakan
tanggal bersejarahnya. Tidak jelas lagi perbedaan antara institusi bisnis dan
pemerintahan. Semuanya bisa tampak sama, yakni cenderung berorientasi ke luar
dan bercorak kehumasan (baca:pencitraan).
Populisme Milad UII
Sayangnya, dalam kasus milad tujuh dasawarsa
UII, kita bisa cermati ciri-ciri ideologi kehumasan juga mendominasi seluruh
rangkaian acara. Agenda semacam lomba, pemberian penghargaan, bakti sosial, dan
seminar-seminar dengan tema yang lagi-lagi berorientasi komunikasi eksternal,
mendominasi kesibukan panitia sepanjang tahun ini. Pagelaran wayang kulit
misalnya, seolah menjadi bentuk komunikasi yang wajib dilakukan untuk
menegaskan kepedulian suatu institusi pendidikan pada khazanah kebudayaan
bangsa. Hampir semua institusi pendidikan di Pulau Jawa menyelenggarakan pentas
tersebut, tidak terkecuali UII. Berikutnya shalawat. Kita tentu masih ingat
perayaan HUT Bhayangkara yang mengadakan acara serupa beberapa tahun
belakangan. UII ternyata juga hendak menyelenggarakan ini dengan mengundang
pengisi acara yang sama pula. Kalau toh kemudian kita dapati rencana pengajian,
itupun klise dan tetap berorientasi ke “luar”. Pengajian dengan mengahadirkan
dai kondang juga kerap dilakukan institusi-institusi lain yang tidak jarang
mengusung tema serupa. Demikian pula sunatan massal, bagi-bagi sembako, pasar
murah, dan sepeda sehat. Sementara lomba-lomba yang diselenggarakan kerap
terbaca “tidak nyambung” dengan semangat tema milad yang seharusnya bersifat
evaluasi ke dalam. Keseluruhan acara praktis tidak lebih dari kelatahan
mengikuti tren perhelatan yang lazim dilakukan oleh pihak-pihak lain. Bahkan
tema “Mewujudkan Generasi yang Berkarakter” itu sendiri mudah ditebak asal
muasalnya berdasarkan wacana pendidikan karakter yang belakangan ini ramai
dibicarakan.
Populisme
pola hajatan UII ini tentu menjadi ironi tersendiri. Sebab jika kita mengambil
pendapat Prof. Bambang Sugiharto di awal, itu artinya UII belum memiliki
kesadaran individualitasnya yang khas. Lebih naas lagi, UII boleh jadi masih
didominasi nalar-nalar pendek sehingga afiliasi pada komunitas yang lebih besar
cenderung diutamakan ketimbang menjadi dirinya sendiri sebagai hasil dari
refleksi mendalam atas eksistensi diri. Padahal UII adalah institusi pendidikan
yang sudah sepatutnya dihidupi oleh nalar-nalar panjang sebagai konsekuensi
sebuah lingkungan akademik.
Perlombaan tentu
saja penting guna membentuk etos kompetitif, kita juga tak menyangkal urgensi
bakti sosial, dan mimbar-mimbar akademik seperti seminar yang memang dijiwai
semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ini hanya murni masalah orientasi apa
yang melatarinya. Namun masalah orientasi itu juga yang akhirnya menjadi
pembeda antar satu institusi dengan institusi yang lain. Orientasi itu pula
yang menjadi cermin pemaknaan atas makna milad bagi UII hingga memengaruhi
bentuk dan isi perayaannya. Di sini kita membahas substansi milad yang
sesunguhnya. Apakah sekadar dimaknai sebagai momentum komunikasi kehumasan
semata, atau jauh lebih esensial dari itu: Menjadi titik muhasabah dan momentum
membangkitkan kesadaran bersyukur.
Ajang Menggali Tradisi
UII sebagai
sebuah institusi pendidikan tertua di tanah air seharusnya memiliki tradisi dan
fondasi yang kokoh, terlebih di usianya yang memasuki tujuh dekade. Layaknya
sebuah pohon yang menjulang tinggi, ia tentu perlu ditopang oleh akar yang kuat
agar tidak mudah diombang-ambingkan angin hingga goyah dan rubuh. Tapi bicara
tradisi dalam konteks UII ini juga problematik. Kita akan selalu dihadapkan
pada pertanyaan mengenai karakter khas kampus tersebut. Dalam rutinitas
kegiatan perkuliahan sebagai contoh, nyaris tidak kita dapati sesuatu yang unik
dari kampus ini entah dalam disiplin maupun materi ajar. Begitu pula kultur
akademiknya.
Rupa-rupanya
sudah sekian lama UII tumbuh tanpa dijiwai oleh falsafah yang mengakar dan
dirasakan oleh seluruh civitasnya. Ini bisa dilihat kasat mata. Misalnya saja
kultur literasi. Berapa banyak mahasiswa dan dosen yang gemar membaca, menulis,
dan berdiskusi? Padahal ini adalah etos KH.Mas Mansyur, Moh. Hatta, M.Natsir
dan hampir seluruh pendiri UII lainnya. Dalam bidang akademik, apakah mahasiswa
dan dosen lebih fasih dan percaya diri mengutip Arkoun, Friedman, Locke, dan
Drucker namun asing dengan pemikiran Natsir dan Hatta? Atau yang lebih mendasar
lagi, pernahkah pemikiran pendidikan dari para tokoh pendiri tersebut dikaji
secara serius dan mendalam oleh UII sendiri?
Menyaksamai
kenyataan tersebut seharusnya momentum milad ke 70 tahun ini lebih menitiktekankan
pada penggalian khazanah dalam diri UII sendiri. Upaya ini justru lebih mengena
dengan tema “Membangun Generasi Berkarakter”. Sebab dengan penggalian khazanah
dan tradisi masa lampau, civitas UII akan mengenal latar belakang dan tujuan
keberadaannya secara lebih presisi dan mampu mengaktualisasikannya dalam
konteks kekinian dan kedisinian. Di sini kita belajar menyukuri kenyataan bahwa
UII didirikan oleh orang-orang besar yang memiliki warisan pemikiran yang juga
besar. UII dalam hal ini lebih beruntung dari lembaga pendidikan yang diinduki
Muhammadiyah, sebab para penggagas kampus ini meninggalkan karya tulis yang
diwariskan. Bandingkan dengan Kyai Ahmad Dahlan yang tidak meninggalkan warisan
semacam itu sehingga pemikirannya hanya mampu dipelajari melalui interpretasi
konseptual tangan kedua. Maka seharusnya UII memiliki karakter yang lebih kuat
daripada kompetitornya itu.
Pengkajian
sejarah dan sosialisasi pemikiran para pendiri UII secara terbuka juga perlu
dilakukan. Mengkaji sejarah di sini tentu bukan semata-mata ajang nostalgia
atau romantisme. Kita hanya berupaya untuk mencari alur evaluasi diri yang
dapat diandalkan dalam menilai sejauh mana UII telah benar-benar tumbuh sebagai
sebuah pilar beradaban ummat dan bangsa sebagaimana dicita-citakan para
pendirinya. Maka kita perlu mengumpulkan kembali percik pemikiran mereka yang
terserak selama puluhan tahun ini untuk kembali kita pelajari dan hayati
bersama. Apa gunanya kita memiliki sekian banyak nama besar namun hanya
diabadikan sebagai nama gedung-gedung perkuliahan, perpustakaan dan auditorium,
sementara pemikiran mereka justru amat asing bari rata-rata civitasnya. Apa
gunanya kita menziarahi kubur-kubur mereka, namun di saat yang sama
pikiran-pikiran cerdas dan jujur orang-orang ini luput kita gali dan
aktualisasikan dalam kehidupan kampus.
Lantas bagaimana
menerjemahkannya dalam bentuk agenda acara milad? Sederhana. Bisa dengan
menyelenggarakan seminar atau menggalakkan penelitian pemikiran para pendiri
UII yang meninggalkan rekam jejaknya dalam bentuk tulisan sepanjang tahun ini.
Pandangan kepemimpinan dan filosofi pendidikan Natsir dapat dikaji di sana
untuk kemudian dijadikan referensi evaluasi perkembangan UII. Demikian pula
pemikiran politik dan ekonomi Hatta; serta pandangan teologi KH. Mas Mansyur
dan KH. Wachid Hasyim. Dengan demikian kita bisa berharap kedepan UII dapat
menjadi rujukan paling otoritatif ikhwal pemikiran tokoh-tokoh tadi. Sebab
bukan tidak mungkin seminar-seminar ini nantinya akan menjadi embrio
terbentuknya wadah intelektual berbasis pemikiran tokoh. Bagaimana dengan
lomba-lomba? Ajang perlombaan tetap bisa diselenggarakan sebagai pelengkap,
termasuk bakti sosial dan semacamnya namun tentu saja UII tetap perlu
menunjukkan karakternya dalam penyelenggaraan acara-acara tadi.
Sumbang saran
sebagaimana termaktub di atas mungkin sudah terlambat. Agenda sudah terlanjur
dibuat dan beberapa sudah dilaksanakan. Kita tentu perlu menghargai kerja-kerja
panitia milad kali ini. Namun masih ada celah untuk setidaknya mewujudkan
gagasan di atas dalam rangka melengkapi kekurangan yang ada. Celah tersebut
dapat diisi oleh organisasi mahasiswa yang ada di UII sebagai wujud rasa turut
memiliki. Jaringan Lembaga Eksekutif Mahasiswa(LEM), Lembaga Pers
Mahasiswa(LPM), dan Lembaga Dakwah Kampus(LDK) baik di level universitas maupun
fakultas sebenarnya bisa berkontribusi menyusun agenda peringatan milad UII sendiri sejauh ada kemauan dan
kepedulian. Toh ini juga kebutuhan mereka. Sebab bukan rahasia lagi bahwa
organisasi mahasiswa yang ada di UII masih minus narasi. Dengan mengagendakan
diskusi-diskusi tentang pemikiran para pendiri UII, potensi untuk merumuskan
gagasan besar yang “meng-UII” sebagai pijakan perjuangan lembaga mahasiswa
bukan lagi sesuatu yang kabur dan mengawang-awang. Insyaallah. Wallahu ’alam[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar