Laman

Jumat, 19 April 2013

Menimbang Agenda Milad UII


Sumber:  nafiul.wordpress.com

Dalam setiap peringatan Hari Ulang Tahun(HUT) di tengah-tengah bangsa yang masih didominasi kesadaran komunal seperti Indonesia, kita akan dengan mudah mendapati wujudnya yang seragam: dangkal dan kerap gegap gempita. Amat jarang kita jumpai suatu perhelatan milad yang diisi oleh keheningan dan dijiwai semangat reflektif mendalam. Peringatan hari kemerdekaan di kampung-kampung misalnya, masih didominasi perlombaan yang terus diwariskan turun-temurun tanpa ada perubahan tingkat pemaknaan berarti. Sementara pada masyarakat kelas menengah, ulang tahun seorang individu lebih banyak dirayakan dengan prosesi hura-hura entah dalam skala kecil maupun besar.
Fenomena banalitas dan homogenitas di atas tentu memiliki penjelasan. Prof.Bambang Sugiharto dalam sebuah kesempatan kuliah filsafat ilmu di Universitas Parahyangan menuturkan, pola berpikir masyarakat komunal seperti masyarakat Indonesia pada umumnya memang cenderung dangkal dan non-elaboratif. Akibatnya, wujud  ekspresi kebudayaannya akan merefleksikan pola kedangkalan serupa. Hal ini disebabkan tradisi lisan amat mendominasi pola komunikasi pada masyarakat semacam ini. Sementara tradisi lisan cenderung mengedepankan nalar-nalar pendek yang berkebalikan dengan tradisi tulisan yang membutuhkan nalar panjang atau elaboratif.

Di sini kita bisa memahami ketika  individu dalam masyarakat komunal memiliki sikap yang cenderung seragam lantaran kurangnya aktivitas perenungan kesejatian diri akibat nalar pendek tadi. Individu dengan demikian sulit untuk merumuskan sikapnya sendiri. Bahkan alih-alih bersikap, individu justru kerap kehilangan makna dan identitas manakala lepas dari komunitasnya. Maka kesamaan ekspresi cenderung dirayakan dimana-mana dan membentuk semacam falsafah populisme. Sementara falsafah inilah yang menjadi motor utama aktivitas pencitraan. Hal ini tampak dalam perayaan ulang tahun yang menjadi ajang bersenang-senang dan adu prestise.
Kondisi semacam ini juga terjadi pada suatu institusi. Dalam kasus HUT, milad, atau sejenisnya, hampir semua institusi di tanah air memiliki ciri yang serupa dalam merayakan tanggal bersejarahnya. Tidak jelas lagi perbedaan antara institusi bisnis dan pemerintahan. Semuanya bisa tampak sama, yakni cenderung berorientasi ke luar dan bercorak  kehumasan (baca:pencitraan).

Populisme Milad UII

 Sayangnya, dalam kasus milad tujuh dasawarsa UII, kita bisa cermati ciri-ciri ideologi kehumasan juga mendominasi seluruh rangkaian acara. Agenda semacam lomba, pemberian penghargaan, bakti sosial, dan seminar-seminar dengan tema yang lagi-lagi berorientasi komunikasi eksternal, mendominasi kesibukan panitia sepanjang tahun ini. Pagelaran wayang kulit misalnya, seolah menjadi bentuk komunikasi yang wajib dilakukan untuk menegaskan kepedulian suatu institusi pendidikan pada khazanah kebudayaan bangsa. Hampir semua institusi pendidikan di Pulau Jawa menyelenggarakan pentas tersebut, tidak terkecuali UII. Berikutnya shalawat. Kita tentu masih ingat perayaan HUT Bhayangkara yang mengadakan acara serupa beberapa tahun belakangan. UII ternyata juga hendak menyelenggarakan ini dengan mengundang pengisi acara yang sama pula. Kalau toh kemudian kita dapati rencana pengajian, itupun klise dan tetap berorientasi ke “luar”. Pengajian dengan mengahadirkan dai kondang juga kerap dilakukan institusi-institusi lain yang tidak jarang mengusung tema serupa. Demikian pula sunatan massal, bagi-bagi sembako, pasar murah, dan sepeda sehat. Sementara lomba-lomba yang diselenggarakan kerap terbaca “tidak nyambung” dengan semangat tema milad yang seharusnya bersifat evaluasi ke dalam. Keseluruhan acara praktis tidak lebih dari kelatahan mengikuti tren perhelatan yang lazim dilakukan oleh pihak-pihak lain. Bahkan tema “Mewujudkan Generasi yang Berkarakter” itu sendiri mudah ditebak asal muasalnya berdasarkan wacana pendidikan karakter yang belakangan ini ramai dibicarakan.
                Populisme pola hajatan UII ini tentu menjadi ironi tersendiri. Sebab jika kita mengambil pendapat Prof. Bambang Sugiharto di awal, itu artinya UII belum memiliki kesadaran individualitasnya yang khas. Lebih naas lagi, UII boleh jadi masih didominasi nalar-nalar pendek sehingga afiliasi pada komunitas yang lebih besar cenderung diutamakan ketimbang menjadi dirinya sendiri sebagai hasil dari refleksi mendalam atas eksistensi diri. Padahal UII adalah institusi pendidikan yang sudah sepatutnya dihidupi oleh nalar-nalar panjang sebagai konsekuensi sebuah lingkungan akademik.
Perlombaan tentu saja penting guna membentuk etos kompetitif, kita juga tak menyangkal urgensi bakti sosial, dan mimbar-mimbar akademik seperti seminar yang memang dijiwai semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ini hanya murni masalah orientasi apa yang melatarinya. Namun masalah orientasi itu juga yang akhirnya menjadi pembeda antar satu institusi dengan institusi yang lain. Orientasi itu pula yang menjadi cermin pemaknaan atas makna milad bagi UII hingga memengaruhi bentuk dan isi perayaannya. Di sini kita membahas substansi milad yang sesunguhnya. Apakah sekadar dimaknai sebagai momentum komunikasi kehumasan semata, atau jauh lebih esensial dari itu: Menjadi titik muhasabah dan momentum membangkitkan kesadaran bersyukur.

Ajang Menggali Tradisi

UII sebagai sebuah institusi pendidikan tertua di tanah air seharusnya memiliki tradisi dan fondasi yang kokoh, terlebih di usianya yang memasuki tujuh dekade. Layaknya sebuah pohon yang menjulang tinggi, ia tentu perlu ditopang oleh akar yang kuat agar tidak mudah diombang-ambingkan angin hingga goyah dan rubuh. Tapi bicara tradisi dalam konteks UII ini juga problematik. Kita akan selalu dihadapkan pada pertanyaan mengenai karakter khas kampus tersebut. Dalam rutinitas kegiatan perkuliahan sebagai contoh, nyaris tidak kita dapati sesuatu yang unik dari kampus ini entah dalam disiplin maupun materi ajar. Begitu pula kultur akademiknya.
Rupa-rupanya sudah sekian lama UII tumbuh tanpa dijiwai oleh falsafah yang mengakar dan dirasakan oleh seluruh civitasnya. Ini bisa dilihat kasat mata. Misalnya saja kultur literasi. Berapa banyak mahasiswa dan dosen yang gemar membaca, menulis, dan berdiskusi? Padahal ini adalah etos KH.Mas Mansyur, Moh. Hatta, M.Natsir dan hampir seluruh pendiri UII lainnya. Dalam bidang akademik, apakah mahasiswa dan dosen lebih fasih dan percaya diri mengutip Arkoun, Friedman, Locke, dan Drucker namun asing dengan pemikiran Natsir dan Hatta? Atau yang lebih mendasar lagi, pernahkah pemikiran pendidikan dari para tokoh pendiri tersebut dikaji secara serius dan mendalam oleh UII sendiri?
Menyaksamai kenyataan tersebut seharusnya momentum milad ke 70 tahun ini lebih menitiktekankan pada penggalian khazanah dalam diri UII sendiri. Upaya ini justru lebih mengena dengan tema “Membangun Generasi Berkarakter”. Sebab dengan penggalian khazanah dan tradisi masa lampau, civitas UII akan mengenal latar belakang dan tujuan keberadaannya secara lebih presisi dan mampu mengaktualisasikannya dalam konteks kekinian dan kedisinian. Di sini kita belajar menyukuri kenyataan bahwa UII didirikan oleh orang-orang besar yang memiliki warisan pemikiran yang juga besar. UII dalam hal ini lebih beruntung dari lembaga pendidikan yang diinduki Muhammadiyah, sebab para penggagas kampus ini meninggalkan karya tulis yang diwariskan. Bandingkan dengan Kyai Ahmad Dahlan yang tidak meninggalkan warisan semacam itu sehingga pemikirannya hanya mampu dipelajari melalui interpretasi konseptual tangan kedua. Maka seharusnya UII memiliki karakter yang lebih kuat daripada kompetitornya itu.
Pengkajian sejarah dan sosialisasi pemikiran para pendiri UII secara terbuka juga perlu dilakukan. Mengkaji sejarah di sini tentu bukan semata-mata ajang nostalgia atau romantisme. Kita hanya berupaya untuk mencari alur evaluasi diri yang dapat diandalkan dalam menilai sejauh mana UII telah benar-benar tumbuh sebagai sebuah pilar beradaban ummat dan bangsa sebagaimana dicita-citakan para pendirinya. Maka kita perlu mengumpulkan kembali percik pemikiran mereka yang terserak selama puluhan tahun ini untuk kembali kita pelajari dan hayati bersama. Apa gunanya kita memiliki sekian banyak nama besar namun hanya diabadikan sebagai nama gedung-gedung perkuliahan, perpustakaan dan auditorium, sementara pemikiran mereka justru amat asing bari rata-rata civitasnya. Apa gunanya kita menziarahi kubur-kubur mereka, namun di saat yang sama pikiran-pikiran cerdas dan jujur orang-orang ini luput kita gali dan aktualisasikan dalam kehidupan kampus.
Lantas bagaimana menerjemahkannya dalam bentuk agenda acara milad? Sederhana. Bisa dengan menyelenggarakan seminar atau menggalakkan penelitian pemikiran para pendiri UII yang meninggalkan rekam jejaknya dalam bentuk tulisan sepanjang tahun ini. Pandangan kepemimpinan dan filosofi pendidikan Natsir dapat dikaji di sana untuk kemudian dijadikan referensi evaluasi perkembangan UII. Demikian pula pemikiran politik dan ekonomi Hatta; serta pandangan teologi KH. Mas Mansyur dan KH. Wachid Hasyim. Dengan demikian kita bisa berharap kedepan UII dapat menjadi rujukan paling otoritatif ikhwal pemikiran tokoh-tokoh tadi. Sebab bukan tidak mungkin seminar-seminar ini nantinya akan menjadi embrio terbentuknya wadah intelektual berbasis pemikiran tokoh. Bagaimana dengan lomba-lomba? Ajang perlombaan tetap bisa diselenggarakan sebagai pelengkap, termasuk bakti sosial dan semacamnya namun tentu saja UII tetap perlu menunjukkan karakternya dalam penyelenggaraan acara-acara tadi.
Sumbang saran sebagaimana termaktub di atas mungkin sudah terlambat. Agenda sudah terlanjur dibuat dan beberapa sudah dilaksanakan. Kita tentu perlu menghargai kerja-kerja panitia milad kali ini. Namun masih ada celah untuk setidaknya mewujudkan gagasan di atas dalam rangka melengkapi kekurangan yang ada. Celah tersebut dapat diisi oleh organisasi mahasiswa yang ada di UII sebagai wujud rasa turut memiliki. Jaringan Lembaga Eksekutif Mahasiswa(LEM), Lembaga Pers Mahasiswa(LPM), dan Lembaga Dakwah Kampus(LDK) baik di level universitas maupun fakultas sebenarnya bisa berkontribusi menyusun agenda peringatan milad  UII sendiri sejauh ada kemauan dan kepedulian. Toh ini juga kebutuhan mereka. Sebab bukan rahasia lagi bahwa organisasi mahasiswa yang ada di UII masih minus narasi. Dengan mengagendakan diskusi-diskusi tentang pemikiran para pendiri UII, potensi untuk merumuskan gagasan besar yang “meng-UII” sebagai pijakan perjuangan lembaga mahasiswa bukan lagi sesuatu yang kabur dan mengawang-awang. Insyaallah.  Wallahu ’alam[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar